A. Pendahuluan
Perkawinan temporer atau mut’ah adalah
termasuk salah satu bentuk perkawinan yang ada pada masyarakat Arab pra Islam
di samping bentuk-bentuk yang lain. Menurut Moenawir Kholil ada banyak bentuk
perkawinan yang ada pada masa pra Islam yaitu Perkawinan Istabdha’ (kawin
dagang atau kawin hamil), yaitu seorang suami memerintahkan istrinya untuk
melakukan hubungan dengan laki-laki lain dengan maksud mendapatkan keturunan
dari laki-laki tersebut. Perkawinan Isyrak (kawin bersekutu) yaitu,
beberapa laki-laki bersekutu tidak lebih dari sepuluh orang untuk mengawini
seorang wanita dan mereka memberikan hak kepadanya untuk menyerahkan anak yang
telah dilahirkanya kepada satu laki-laki tersebut yang disukainya. Pernikahan Muhadalah
(kawin bertukaran) yaitu dua orang laki-laki yang kawin dengan dua orang perempuan
dan dapat tukar menukar istri bila
sama-sama menghendaki. Kawin pusaka, yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan
wanita bekas bapaknya. Perkawinan Syighar atau kawin bertukaran anak
yaitu, seorang laki-laki mengawinkan anaknya kepada laki-laki lain, tetapi
dengan syarat laki-laki tersebut harus mengawinkan juga anak perempuanya
kepadanya. Perkwian jamak, yaitu seorang laki-laki kawin dengan dua orang
wanita bersaudara.[1]
Dari bermacam bentuk perkawinan yang ada
pada tradisi Arab pra Islam ini dan pernah ada dalam tradisi Islam dan masih
menjadi perdebatan sampai sekarang ialah nikah mut’ah, terutama dikalangan
sunni dan syiah. Dengan demikian bagaimana sebenarnya nikah mut’ah dalam
prespektif Al-Qura’an
B. Problematika Nikah Mut’ah
Secara etimologis, kata mut’ah mempunyai
arti kenikmatan, kesenangan atau untuk memiliki status hokum tertentu. Namun
secara terminologi banyak pendapat yang diungkap oleh parah tokoh terutama
dikalangan fuqaha diantaranya, ialah nikah mut’ah diartikan sama dengan
nikah muwaqqah yaitu nikah sementara yang ditentukan batas waktunya.[2]
Imam Bukhari mendefinisikan nikah mut’ah yaitu jika seorang laki-laki dan
wanita sepakat untuk hidup bersama, lalu dengan kesepakatan hubungan mereka
berakhir setelah tiga malam dan jika ingin dilanjutkan, maka mereka dapat
memperpanjang hubungan mereka, dan jika tidak mereka dapat memutuskanya.[3]
Sedangkan definisi yang lain mengatakan bahwa, nikah mut’ah adalah suatu
kontrak atau akad antara seorang pria dan wanita yang tidak bersuami, di mana
akhir dari periode atau waktu dan maskawin harus ditentuakn.[4]
Muhammad Ali As-Shabuni mendefinisikan nikah mut’ah yaitu kontrak laki-laki
dengan wanita dalam waktu tertentu yang disepakati.[5]
Nikah mut’ah berbeda secara signifikan dengan nikah permanen dalam
hal bahwa nikah mut’ah merupakan akad personal yang berdasarkan kesepakatan
antara seorang laki-laki dan wanita yang tidak bersuami dan biasanya tanpa
intervensi dari keluarga. Ibrohim Hosen menguraikan makna dan perbedaan nikah
mut’ah dan nikah permanen sebagai berikut:
1. Sighat ijab dan lafaz yang berarti kawin atau dengan lafaz yang berarti
bersenang-bersenang.
2. Tanpa wali.
3. Tanpa saksi
4. Di dalam akad terdapat ketentuan berupa pematasan waktu.
5. Kepastian menyebut mahar dalam akad.
6. Anak dari nikah mut’ah mempunyai fungsi seperti anak dari nikah biasa.
7. Antara suami istri tidak saling mewarisi, jika tidak disyaratkan dalam
akad.
8. Tidak talaq sebelum masa berakhir.
9. Iddah dua kali haid.
10. Tidak ada nafkah iddah[6]
Ada perbedaan pendapat dalam memahami nikah
mut’ah, ada yang berpendapat boleh dan ada juga yang menganggap tidak
boleh. Masing-masing mempunyai dasar
pikiran sendiri yang merujuk pada kedua sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah.
Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan
landasan bolehnya mut’ah ialah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 24 yang artinya
kurang lebih demikian:
وَالْمُحْصَنَتُ مِنَ النِّسَاءِ اِلاَّ ماَملكت اَيْماَنُكُمْ
كِتَبَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَاوَرَاءَ ذَلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوا
بِاَ مْوَالِكُمْ مُحْصِنِيْنَى غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ
مِنْهُنَّ فَاَ تُوهُنَّااُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ اْلفَرِيْضَةِ اِنَّ اللّهَ كَاَن عَلِيمًاً حَكِيْمَا
(النساء: 24 )
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu sekalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk
bezina. Maka isteri-isteri yang kamu nikmati (campuri) diantara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
saling merelakanya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah mengetahui
lagi Maha bijaksana (QS. 4 ; 24)
Disamping
Al-Qur’an ada juga hadis yang menegaskan tentang bolehnya mut’ah yaitu :
Dari
jabir ra. Yang menegaskan sebagai berikut, “kami berada dalam suatu pasukan,
tiba-tiba rasulullah datang kepada kami dan bersabda sesungguhanya telah
diizinkan kepadamu mengawini wanita dalam waktu yang terbatas, karena itu
berbuatlah yang demikian”(HR. Bukhari Muslim).
Demikian juga hadis yang melarang
nikah mut’ah diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad
yang artinya :
“Wahai sekalian aku pernah memperbolehkan kamu
melakukan mut’ah dan ketahuilah Allah telah melarang mut’ah sampai datang hari Qiamat. Maka barang
siapa ada padanya wanita yang diambilnya
enggan nikah mut’ah, hendaklah ia melepaskannya dan jangan kamu mengambil
sesuatu yang kamu beriakan kepada mereka”(HR. Muslim dan Ahmad).
Hadis
riwayat Muslim dari Salamah ibn al-Akwa’ Rasul bersabda :
“Bahwa
Rasulullah telah memberikan rukhsah pada thun authas mengenai mut’ah selama
tiga hari, kemudian beliau melarangnya”(HR. Muslim).
Kata
rukhsah dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa mut’ah itu dilarang, kemudian
dibolehkan secara rukhsah. Kerukhsahan itu menunjukkan kebolehannya adalah
karena darurat, maka kembali pada hukum asalnya dan timbulnya larangan Rasul
dengan sabdanya tsumma naha anha (kemudian Rasul melarangnya).
Hadist riwayat Malik dari Ali ibnu
Abi Thalib “Bahwa Rasulullah SAW, melarang nikah mut’ah pada peristiwa khaibar,
danjuga melarang daging keledai piaraan.”(HR.Ibnu Malik)
Ayat
Al-Qur’an dan hadits yang diungkap di atas telah menimbulkan polemik diantara
umat islam. Apakah kebolehan mut’ah itu berlaku selamanya atau sudah dilarang
selamanya. Sebab kedua ayat dan hadis di atas memberikan makna dan pemahaman
yang berbeda.
C.Beberapa Analisa Tentang Nikah Mut’ah
Menurut Asy-Syaukani, diatas segalanya kita harus melakukan dengan
konsekuen keterangan sahih yang sampai kepada kita tentang diharamkannya mut’ah
untuk selama-lamanya. Pendapat didasarkan pada hadist di atas, yang menurutnya
didukung oleh sebagian besar sahabat.
Sedangkan menurut Imam An-Nawawi
nikah mut’ah itu dihalalkan sebelum perang khaibar, kemudian diharamkan pada
peperangan tersebut , kemudian dihalalkan pada peperangan pembukaan kota Mekkah
dan akhirnya diharamkan sesudah tiga hari dan untuk selamanya. Namun menurutnya
meskipun hadist tersebut shahih tetapi tidak mutawattir.Namun menurutnya
meskipun hadist itu shahih tetapi tidak mutawattir Imam Nawawi berpegang pada
kaidah yang menyattakan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak menjadikan masalah
yang disepakati .Pendirian Imam Nawawi ini tidak hanya sekedar menunjukkan
penghormatan pada golongan yang membolehkannya.Sebagai masalah khilafiyah
biasa.[7]
Namun demikian menurut beberapa
pendapat yang lain, ayat 24 an-Nisa’ merupakan dasar disyariatkannya nikah
mut’ah sebagaimana dijelaskan oleh Ath-Thabari, Ar-Razi, Az-Zamakhssari dan
tidak dinasakh oleh ayat atau hadist manapun.[8]
Dan bagi syiah ayat itupun sudah cukup untuk dijadiakan bukti dibolehkan nikah
mut’ah untuk waktu yang tidak terbatas.
Dari analisa di atas kita mungkin sulit
menangkap sebuah kesimpulan, namun diakui atau tidak, tidak ada satu ayat pun
yang melarang nikah mut’ah, yang ada hanya teks-teks hadist, itu pun Ketika
pada masa Rasulullah pernah beberapa kali diperbolehkan dan juga dilarang .
Oleh karena itu mungkin disini ada konteks yang harus dipertimbangakan, seperti
dalam keadaan darurat dan sebagainya. Dangan demikian boleh jadi mut’ah itu
bisa dilakukan selam dalam konteks darurat seperti yang pernah terjadi pada
masa Rasul, apalagi persoalan ini masih dalam perdebatan dimana setiap orang
sah-sah memilih diantara keduanya.
واللّه اعلم
DAFTAR PUSTAKA
A
Syafaruddin Al-Musawi. 1989. Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah, Terj
Mukhlis. Bandung: Mizan.
Al-Bukhari,
al-jami al-shahih, Beirut Darul Fikr,tt.
Chuzaimah
T Yanggo dan Hafiz Anshary, 1999, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ibrahim
Hosen, 1971, Fiqih Perbandingan 1, Jakarta : Jajasan Ihya Ulumuddin
Indonesia.
Moenawar
Kholil. 1989. Nilai Wanita, Solo: Ramadhani.
Muhammad
Ali As-shabani, Rawam al-Bayan Tafsir Ayatu al-Ahkam Mina al-Qur’an, 1,
Bierut Dar al-Fikr, th
[1] Moenawar
Kholil, Nilai Wanita, (Solo Ramadhan, 1989), hlm 142-149
[2]
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta Pustaka Firdaus, 1999), hlm 58
[3]
Al-Bukhari, al-Jami al-Shahih, (Beirut, Darul Fikr, tt), hlm 423
[4] A.
Syafaruddin Al-Musawi. Isu-Isu Penting Ikhtilaf, Ter. Mukhlis, (Bandung
: Mizan, 1989), hlm 87-88
[5] Muhammad
Ali As-Ashabuni, Rawan Al-Bayan Tafsir Ayatul al-Ahkam Mina al-Qur’an, I,
(Beirut : Dar al-Fikri, th), hlm 457
[6] Ibrahim
Hosen. Fiqh Perbandingan I, (Jakarta : Jajasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971),
hlm 192
[7]
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam, Hkm.
74-75
[8] A.
Syarafuddin al-Musawi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah, hlm 90
nice info gan, mantap.....
BalasHapusSouvenir Pernikahan Murah Kediri