Senin, 24 September 2012

NIKAH MUT’AH DALAM AL-QURAN



A.    Pendahuluan
Perkawinan temporer atau mut’ah adalah termasuk salah satu bentuk perkawinan yang ada pada masyarakat Arab pra Islam di samping bentuk-bentuk yang lain. Menurut Moenawir Kholil ada banyak bentuk perkawinan yang ada pada masa pra Islam yaitu Perkawinan Istabdha’ (kawin dagang atau kawin hamil), yaitu seorang suami memerintahkan istrinya untuk melakukan hubungan dengan laki-laki lain dengan maksud mendapatkan keturunan dari laki-laki tersebut. Perkawinan Isyrak (kawin bersekutu) yaitu, beberapa laki-laki bersekutu tidak lebih dari sepuluh orang untuk mengawini seorang wanita dan mereka memberikan hak kepadanya untuk menyerahkan anak yang telah dilahirkanya kepada satu laki-laki tersebut yang disukainya. Pernikahan Muhadalah (kawin bertukaran) yaitu dua orang laki-laki yang kawin dengan dua orang perempuan dan dapat tukar menukar  istri bila sama-sama menghendaki. Kawin pusaka, yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan wanita bekas bapaknya. Perkawinan Syighar atau kawin bertukaran anak yaitu, seorang laki-laki mengawinkan anaknya kepada laki-laki lain, tetapi dengan syarat laki-laki tersebut harus mengawinkan juga anak perempuanya kepadanya. Perkwian jamak, yaitu seorang laki-laki kawin dengan dua orang wanita bersaudara.[1]
Dari bermacam bentuk perkawinan yang ada pada tradisi Arab pra Islam ini dan pernah ada dalam tradisi Islam dan masih menjadi perdebatan sampai sekarang ialah nikah mut’ah, terutama dikalangan sunni dan syiah. Dengan demikian bagaimana sebenarnya nikah mut’ah dalam prespektif Al-Qura’an
B.     Problematika Nikah Mut’ah
Secara etimologis, kata mut’ah mempunyai arti kenikmatan, kesenangan atau untuk memiliki status hokum tertentu. Namun secara terminologi banyak pendapat yang diungkap oleh parah tokoh terutama dikalangan fuqaha diantaranya, ialah nikah mut’ah diartikan sama dengan nikah muwaqqah yaitu nikah sementara yang ditentukan batas waktunya.[2] Imam Bukhari mendefinisikan nikah mut’ah yaitu jika seorang laki-laki dan wanita sepakat untuk hidup bersama, lalu dengan kesepakatan hubungan mereka berakhir setelah tiga malam dan jika ingin dilanjutkan, maka mereka dapat memperpanjang hubungan mereka, dan jika tidak mereka dapat memutuskanya.[3] Sedangkan definisi yang lain mengatakan bahwa, nikah mut’ah adalah suatu kontrak atau akad antara seorang pria dan wanita yang tidak bersuami, di mana akhir dari periode atau waktu dan maskawin harus ditentuakn.[4] Muhammad Ali As-Shabuni mendefinisikan nikah mut’ah yaitu kontrak laki-laki dengan wanita dalam waktu tertentu yang disepakati.[5]
Nikah mut’ah berbeda secara signifikan dengan nikah permanen dalam hal bahwa nikah mut’ah merupakan akad personal yang berdasarkan kesepakatan antara seorang laki-laki dan wanita yang tidak bersuami dan biasanya tanpa intervensi dari keluarga. Ibrohim Hosen menguraikan makna dan perbedaan nikah mut’ah dan nikah permanen sebagai berikut:
1.      Sighat ijab dan lafaz yang berarti kawin atau dengan lafaz yang berarti bersenang-bersenang.
2.      Tanpa wali.
3.      Tanpa saksi
4.      Di dalam akad terdapat ketentuan berupa pematasan waktu.
5.      Kepastian menyebut mahar dalam akad.
6.      Anak dari nikah mut’ah mempunyai fungsi seperti anak dari nikah biasa.
7.      Antara suami istri tidak saling mewarisi, jika tidak disyaratkan dalam akad.
8.      Tidak talaq sebelum masa berakhir.
9.      Iddah dua kali haid.
10.  Tidak ada nafkah iddah[6]
Ada perbedaan pendapat dalam memahami nikah mut’ah, ada yang berpendapat boleh dan ada juga yang menganggap tidak boleh.  Masing-masing mempunyai dasar pikiran sendiri yang merujuk pada kedua sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan bolehnya mut’ah ialah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 24 yang artinya kurang lebih demikian:
وَالْمُحْصَنَتُ مِنَ النِّسَاءِ اِلاَّ ماَملكت اَيْماَنُكُمْ كِتَبَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَاوَرَاءَ ذَلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوا بِاَ مْوَالِكُمْ مُحْصِنِيْنَى غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَاَ تُوهُنَّااُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ اْلفَرِيْضَةِ اِنَّ اللّهَ كَاَن عَلِيمًاً حَكِيْمَا (النساء: 24 )
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu sekalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini,  bukan untuk bezina. Maka isteri-isteri yang kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakanya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah mengetahui lagi Maha bijaksana (QS. 4 ; 24)
Disamping Al-Qur’an ada juga hadis yang menegaskan tentang bolehnya mut’ah yaitu :
Dari jabir ra. Yang menegaskan sebagai berikut, “kami berada dalam suatu pasukan, tiba-tiba rasulullah datang kepada kami dan bersabda sesungguhanya telah diizinkan kepadamu mengawini wanita dalam waktu yang terbatas, karena itu berbuatlah yang demikian”(HR. Bukhari Muslim).
            Demikian juga hadis yang melarang nikah mut’ah diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad yang artinya :
“Wahai  sekalian aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mut’ah dan ketahuilah Allah telah melarang  mut’ah sampai datang hari Qiamat. Maka barang siapa  ada padanya wanita yang diambilnya enggan nikah mut’ah, hendaklah ia melepaskannya dan jangan kamu mengambil sesuatu yang kamu beriakan kepada mereka”(HR. Muslim dan Ahmad).
Hadis riwayat Muslim dari Salamah ibn al-Akwa’ Rasul bersabda :
“Bahwa Rasulullah telah memberikan rukhsah pada thun authas mengenai mut’ah selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya”(HR. Muslim).
Kata rukhsah dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa mut’ah itu dilarang, kemudian dibolehkan secara rukhsah. Kerukhsahan itu menunjukkan kebolehannya adalah karena darurat, maka kembali pada hukum asalnya dan timbulnya larangan Rasul dengan sabdanya tsumma naha anha (kemudian Rasul melarangnya).
            Hadist riwayat Malik dari Ali ibnu Abi Thalib “Bahwa Rasulullah SAW, melarang nikah mut’ah pada peristiwa khaibar, danjuga melarang daging keledai piaraan.”(HR.Ibnu Malik)
Ayat Al-Qur’an dan hadits yang diungkap di atas telah menimbulkan polemik diantara umat islam. Apakah kebolehan mut’ah itu berlaku selamanya atau sudah dilarang selamanya. Sebab kedua ayat dan hadis di atas memberikan makna dan pemahaman yang berbeda.
C.Beberapa Analisa Tentang Nikah Mut’ah
Menurut Asy-Syaukani, diatas segalanya kita harus melakukan dengan konsekuen keterangan sahih yang sampai kepada kita tentang diharamkannya mut’ah untuk selama-lamanya. Pendapat didasarkan pada hadist di atas, yang menurutnya didukung oleh sebagian besar sahabat.
            Sedangkan menurut Imam An-Nawawi nikah mut’ah itu dihalalkan sebelum perang khaibar, kemudian diharamkan pada peperangan tersebut , kemudian dihalalkan pada peperangan pembukaan kota Mekkah dan akhirnya diharamkan sesudah tiga hari dan untuk selamanya. Namun menurutnya meskipun hadist tersebut shahih tetapi tidak mutawattir.Namun menurutnya meskipun hadist itu shahih tetapi tidak mutawattir Imam Nawawi berpegang pada kaidah yang menyattakan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak menjadikan masalah yang disepakati .Pendirian Imam Nawawi ini tidak hanya sekedar menunjukkan penghormatan pada golongan yang membolehkannya.Sebagai masalah khilafiyah biasa.[7]
            Namun demikian menurut beberapa pendapat yang lain, ayat 24 an-Nisa’ merupakan dasar disyariatkannya nikah mut’ah sebagaimana dijelaskan oleh Ath-Thabari, Ar-Razi, Az-Zamakhssari dan tidak dinasakh oleh ayat atau hadist manapun.[8] Dan bagi syiah ayat itupun sudah cukup untuk dijadiakan bukti dibolehkan nikah mut’ah untuk waktu yang tidak terbatas.
            Dari analisa di atas kita mungkin sulit menangkap sebuah kesimpulan, namun diakui atau tidak, tidak ada satu ayat pun yang melarang nikah mut’ah, yang ada hanya teks-teks hadist, itu pun Ketika pada masa Rasulullah pernah beberapa kali diperbolehkan dan juga dilarang . Oleh karena itu mungkin disini ada konteks yang harus dipertimbangakan, seperti dalam keadaan darurat dan sebagainya. Dangan demikian boleh jadi mut’ah itu bisa dilakukan selam dalam konteks darurat seperti yang pernah terjadi pada masa Rasul, apalagi persoalan ini masih dalam perdebatan dimana setiap orang sah-sah memilih diantara keduanya.      
واللّه اعلم

















DAFTAR PUSTAKA
A Syafaruddin Al-Musawi. 1989. Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah, Terj Mukhlis. Bandung: Mizan.
Al-Bukhari, al-jami al-shahih, Beirut Darul Fikr,tt.
Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshary, 1999, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ibrahim Hosen, 1971, Fiqih Perbandingan 1, Jakarta : Jajasan Ihya Ulumuddin Indonesia.
Moenawar Kholil. 1989. Nilai Wanita, Solo: Ramadhani.
Muhammad Ali As-shabani, Rawam al-Bayan Tafsir Ayatu al-Ahkam Mina al-Qur’an, 1, Bierut Dar al-Fikr, th




[1] Moenawar Kholil, Nilai Wanita, (Solo Ramadhan, 1989), hlm 142-149
[2] Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta Pustaka Firdaus, 1999), hlm 58
[3] Al-Bukhari, al-Jami al-Shahih, (Beirut, Darul Fikr, tt), hlm 423
[4] A. Syafaruddin Al-Musawi. Isu-Isu Penting Ikhtilaf, Ter. Mukhlis, (Bandung : Mizan, 1989), hlm 87-88
[5] Muhammad Ali As-Ashabuni, Rawan Al-Bayan Tafsir Ayatul al-Ahkam Mina al-Qur’an, I, (Beirut : Dar al-Fikri, th), hlm 457
[6] Ibrahim Hosen. Fiqh Perbandingan I, (Jakarta : Jajasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971), hlm 192
[7] Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam, Hkm. 74-75
[8] A. Syarafuddin al-Musawi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah, hlm 90

1 komentar: