BAB 1
PENDAHULUAN
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Sejak periode awal sejarah perkembangan Islam, perilaku
kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan
aspeknya diatur oleh hukum Islam. Hukum Islam mampu memenuhi kebutuhan perkembangan
masyarakat karena ia terdiri
dari dua bagian. Pertama, bagian yang bersumber pada nass qot'iy. Bagian ini berlaku
universal, menjadi
media pemersatu dan mempola
arus utama aktivitas umat Islam sedunia. Kedua, bagian yang bersumber pada nass zanniy.
Bagian ini merupakan wilayah ijtihad
yang produk-produknya disebut fiqh. Bagian kedua inilah yang memungkinkan umat Islam di
suatu kawasan tertentu menerapkan
hukum Islam yang berbeda dengan di kawasan yang lain,
sesuai dengan konteks kebutuhan dan permasalahan yang
dihadapi.
Dorongan keagamaan kaum muslimin yang demikian
intens untuk membumikan norma dan nilai normatif Islam, menyebabkan kaum muslimin
sejak masa-masa awal sampai kini berusaha keras menguasai berbagai disiplin
ilmu, sehingga tidak jarang dijumpai ulama atau cendikiawan muslim yang
menguasai disiplin ilmu lebih dari satu. Di antara tokoh yang memberikan kontribusi
berharga dalam perkembangan pemikiran hukum Islam sampai saat ini adalah Mbah Ma’shum Lasem, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. A. Mustofa Bisri dan
KH. Said Aqiel Siradj.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Mbah Ma’shum Lasem
a.
Biografi Singkat
Nama Asli yang
diberikan oleh orang tuanya adalah Muhammadun. Beliau lahir, diperkirakan, pada
tahun 1290 H dan 1870 M, di Lasem. Tahun kelahiran tersebut adalah tahun
perkiraan, sebab tidak ada orang yang tahu pasti tahun berapa beliau
dilahirkan. Sehingga, berdasarkan dari ketidakjelasan informasi mengenai tahun
kelahiran beliau itu, maka ada inisiatif untuk melakukan pelacakan.
Pelacakan
dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Mbah Ma’shum seputar
peristiwa-peristiwa besar yang terjadi ditanah Jawa, baik peristiwa yang berkaitan
dengan kejadian alam maupun sosial politik. Salah satu pertanyaanya adalah “
apakah Mbah Ma’shum tahu pendirian organisasi NU?”, dan hal itu dijawab oleh
beliau bahwa beliau sangat tahu karena beliau juga ikut menyetujui pendirian
organisasi itu. Setelah melalui beberapa pertanyaan, pelacakan berakhir kepada
pertanyaan “ apakah Mbah Ma’shum mengetahui peristiwa meletusnya gunung
Krakatau?”. Mbah Ma’shum menjawab bahwa beliau mengetahui peristiwa itu, dan
saat itu beliau berusia “muda”. Beliau tidak menjelaskan usianya dengan angka,
tetapi dengan istilah “muda”. Dalam bahasa Jawa, beliau mengatakan: “ Naliko
udan awu, aku iseh joko cilik…” (Ketika terjadi hujan abu [akibat gunung
Krakatau meletus], saya masih anak muda-kecil…)
Peristiwa
meletusnya gunung Krakatau terjadi pada 27 Agustus 1883. Jika istilah joko
cilik atau anak muda (kecil) bermakna seseorang yang berusia 15 tahun, maka
Mbah Ma’shum lahir pada 1868. Atau, jika berusia 10 tahun, maka beliau lahir
pada 1873 Masehi. Mungkin, usia beliau berada diantara 10-15 tahun saat
peristiwa Krakatau terjadi, dan sudah cukup masuk akal.
Ayah Mbah
Ma’shum bernama Ahmad, seseorang yang memiliki visi keagamaan tinggi. Sehari-hari, beliau berprofesi sebagai orang yang bergerak
dalam bidang perdagangan. Beliau adalah pedagang yang cukup kreatif. Selain
statusnya yang pebisnis, bisa diyakini juga bahwa ayah mbah ma’shum itu
merupakan seorang yang memiliki visi keagamaan yang cukup.
Berkaitan dengan
nama ibu Mbah Ma’shum terjadi perbedaan pendapat. Pertama dikatakan bernama
Qosimah dan yang kedua menyatakan Ruqoyyah. Akan tetapi, silsilah Mbah Ma’shum
dari garis ibunya tidak dapat diketahui. Urutan silsilah Mbah Ma’shum dari
jalur sang ayah adalah Muhammad Ma’shum bin Ahmad bin Abdul Karim bin Muzahid,
hingga Sultan Mahmud, alias Sultan Minangkabau. Melalui garis ini pula bisa
diketahui bahwa beliau masih keturunan Arab-Yaman, bermarga asy-Syaibani
b.
Pengembaraan Ilmiah
Sejak kecil hingga menginjak masa-masa dewasa, Mbah
Ma’shum menimba banyak pengetahuan dari berbagai kiai, baik di Lasem maupun di
luar Lasem, seperti Jepara, Kajen, Kudus, Sarang, Solo, Semarang, Jombang,
Madura dan lainya, hingga ke Makah. Dari rumah kerumah, kampung ke kampung,
sudah sewajarnya seorang pecinta ilmu akan selalu mengejar kemana ilmu itu
berada. Demikian halnya
dengan Mbah Ma’shum. Beliau belajar kepada banyak kiai.
Menurut Kiai
Maimun Zubair, Mbah Ma’shum pernah mengaji kepada Kiai Nawawi (Jepara), Kiai
Ridhwan (Semarang), Kiai Umar Harun (Sarang), Kiai Idris (Solo), Kiai Dimyati
(Termas), serta kepada Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai
Dimyathi at-Turmusi di Termas lalu melanjutkan belajarnya ke Makah, dengan
mengaji kepada Kiai Mahfudz at-Turmusi . Dalam buku manaqib Mbah Ma’shum
menyebutkan bahwa Mbah Ma’shum pernah juga mengaji kepada Kiai Abdullah, kiai
Abdus Salam dan Kiai Siroj (ketiganya dari Kajen, Pati), Kiai Ma’shum (Damaran,
Kudus), serta Kiai Syarofuddin (Kudus). Semua gurunya itu ilmunya Mutabahhir.
Setelah kenyang
menuntut ilmu, Mbah Ma’shum memasuki dunia baru, yakni berumah tangga. Beliau
menikah, untuk kali pertama dengan seorang perempuan dari desa Sumber Girang,
Lasem, Karena istrinya yang pertama itu wafat di Arab Saudi ketika haji bersama
beliaunya. Pada usia 36 tahun, tepatnya tahun 1323 H/ 1906 M, beliau menikah
lagi untuk kedua kalinya, yaitu dengan Mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH.
Ibrahim bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim, bin Mbah
Sambu. Dari pernikahan Mbah Ma’shum dengan Mbah Nuriyah Allah swt memberikan putra-putri
yang berjumlah 13 orang, 8 diantaranya wafat ketika masih kecil. Anak yang
pertama beliau bernama Ali menikah
dengan Hasyimah binti Munawwir, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Krapyak
Yogyakarta, beliaulah yang melanjutkanya sebagai pengasuh setelah Kiai Munawwir
wafat.
Untuk menghidupi
keluarganya, Mbah Ma’shum mengikuti profesi orang tuanya sebagai pedagang.
Perdagangan beliau tidak hanya di pasar Lasem saja, melainkan hingga ke pasar
Ploso, Jombang. Selain berdagang seperti yang dituturkan oleh KH. Abdullah
Faqih Langitan, untuk urusan duniawi beliau juga pernah bekerja di tempat
pembakaran dan pembuatan batu bata putih. Dalam kehidupanya beliau adalah orang
yang sangat sederhana. Tidak banyak keinginan duniawi yang hendak beliau raih.
Sambil berdagang karena beliau memang berdarah intelektual-juga mengajar
pengetahuan agama kepada orang-orang yang bertempat di Pasar Ploso Jombang.
Salah satu peserta pengajianya KH. Bisri Syamsuri, Denanyar, Jombang, seorang
muda yang di kemudian hari menjadi tokoh besar NU.
c.
Mendirikan Pesantren dan Mengurus Santri
Seperti yang
disampaikan oleh beberapa sumber, Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng
Nabi Muhammad SAW., dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan
serta berganti mengajar. Mimpi beliau bertemu dengan Kanjeng Nabi SAW. Itu
terjadi beberapa kali. Dan hal tersebut berlangsung seolah terjadi dialog yang
berkesinambunga, dalam rentang waktu yang panjang, antara beliau dengan Kanjeng
Nabi Muhammad SAW. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau mimpi bertemu
dengan Kanjeng Nabi SAW. Dan mendapatkan pesan-pesan khusus yang intinya untuk berhenti
berdagang serta mendirikan pesantren dan mengajar.
Dengan rasa
terharu dengan nasihat yang ada pada mimpi itu serta masukan dari KH. Hasyim
Asy’ari beliau sangat mantap dan yakin akhirnya Saat itulah beliau mendirikan
bangunan pesantren yang cukup maju saat itu terbuat dari tembok, berukuran 20 x
7 meter. Bangunan tersebut, masih berdiri tegak hingga sekarang, terdiri dari 2
lantai; lantai pertama berfungsi sebagai musholla dan tempat pengajian,
sedangkan lantai dua-yang terbuat dari kayu, difungsikan sebagai kamar para
santri. Pondok pesantren tersebut diberi nama al-hidayat.
Mbah Ma’shum sangat
disiplin dalam hal mendidik santrinya. Senang sekali melihat santri mengaji
kitab ihya’ Ulumuddin. Kenyataan yang sama juga terjadi pada kitab Fathul
Wahhab, yaitu Mbah Ma’shum telah menghatamkanya sebanyak usia beliau
(banyak kitab lain yang juga dihatamkan selama usianya). Pernah suatu kali
beliau dawuh bahwa Fiqh itu telah berada dalam dadanya. Jadi, kalau
beliau mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Fiqh, beliau sudah merasa
kesulitan untuk menyebutkan sumbernya karena terlalu banyak kitab Fiqh yang
beliau baca.
d.
Peran Kebangsaan dan Nasionalisme
Aktivitas Mbah
Ma’shum yang tekun dan konsisten (istiqomah) dalam bidang pendidikan
umat membawa beliau ke dalam golongan atau jama’ah ulama-ulama agung. Di situ,
beliau dapat disejajarkan dengan ulama-ulama yang berkaliber, baik dimata
Negara maupun umat. Dari realitas ini, sangat pantas jika sejarah mencatat
bahwa Mbah Ma’shum juga berperan dalam pendirian organisasi NU. Peran-peran
tersebut, secara khusus, terjadi pada masa organisasi NU didirikan.
Sedangkan
mengenai kepedulian Mbah Ma’shum untuk bengsa, maka hal tersebut telah sangat
jelas. Hingga pemilu 1971, beliau masih tetap berangkat ke TPS untuk
berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Komitmen beliau untuk bangsa jelas tidak
diragukan lagi. Sudah pantas jika Bung Karno ketika bertemu dengan beliau
memerlukan diri untuk bersalaman dengan dua tangan-sebagai tanda penghormatan-
sedangkan Mbah Ma’shum cukup dengan satu tangan.
Bahkan Mbah
Ma’shum memberikan do’a restu, nasihat serta saran-saran kepada Prof. Dr. KH.
Mukti Ali supaya mendapatkan kesuksesan selama menjalankan tugas Negara.
Pesanya sebagai berikut:
1.
Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab, membenci
NU sama dengan membenci padaku. Karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama
ulama yang lain. Tetapi, engkau pun jangan membenci Muhammadiyah. Jangan pula
membenci PNI dan partai-partai yang lain. Sebagai seorang mentri Agama, engkau
harus dapat berdiri ditengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka. Dan
Negara harus kau junjung tinggi.
2.
Manakala datang seorang tamu meminta bantuanmu, uang
umpamanya, jangan ditolak. Andaikata dikala itu secara kebetulan engkau tak
beruang, keluarlah. Artinya, usahakan sampai dapat dan berhasil menolongnya.
Ini tindakan dan perilaku Rasulullah SAW. Yang harus kau tiru dan kau ikuti.
Kisah itu melukiskan betapa beliau memiliki perhatian
yang baik terhadap jabatan di pemerintahan, bahkan menyempatkan diri untuk
memberikan do’a.
e.
Kontekstualitas Pemikiran
Ditinjau dari satu prespektif tertentu, pemikiran
Mbah Ma’shum tidak berbeda dengan pemikiran para kiai pada umumnya: sangat
teguh memegang syari’at dan secara spesifik Fiqh Syafi’i. Beliau bisa saja
mempraktikan fiqh Hanafi, misalnya, karena beliau juga menguasainya. Akan
tetapi, hal itu tidak dilakukan dan lebih tertarik untuk mengembangkan
pemikiran fiqh Syafi’i. Hal itu terjadi pada kasus mahromiyyah, yang
mana beliau sering menikahkan seseorang
dengan kerabatnya supaya menjadi mahrom dengan beliau. Gagasan ini muncul seiring kebiasaan bersalaman atau
bertemunya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Memperhatikan hal ini,
beliau tidak menggunakan fiqh Hanafi yang membolehkanya.
Dalam berdialog
dengan fenomena-fenomena yang terjadi pada masyarakat pun beliau mempunyai
pandangan yang realistis-dalam arti cukup konstekstual dalam menerjemahkan
nilai-nilai keislaman ke dalam pergaulan masyarakat. Beliau misalnya, awalnya
mengikuti fatwa para ulama yang mengharamkan penggunaan dasi. Sebagaimana kita
ketahui, dalam pandangan ulama NU, hokum menggunkan dasi adalah haram jika penggunaan
tersebut dimaksudkan untuk meniru kepada orang non muslim dan untuk menyemarakkan
kekafiran apalagi provokasi dan selanjutnya beliau membolehkanya (tidak lagi
menghukumi haram). Begitu juga dalam menghukumi mendengarkan radio dan
pemakaian sepatu.
Pandangan ini
mengacu kepada pemahaman atas universalitas hadist Nabi Muhammad SAW
(Umumul-Hadits) dalam pelarangan terhadap peniruan atas orang non muslim.
Sedangkan jika penggunaanya tidak dimaksudkan untuk hal pertama tersebut, maka
penggunaan itu bukan merupakan kekafiran namun tetap berdosa. Sedangkan apabila
penggunaanya sama sekali bukan merupakan peniruan, dan sekedar berpakaian
demikian, maka hukumnya tidak dilarang melainkan makruh. Hal ini telah sesuai
dengan keputusan Muktamar NU ke 2, di Surabaya, 12 Rabiuts Tsani 1346 H/ 9
Oktober 1927 M. Keputusan Muktamar tersebut juga diperkuat dengan keputusan
Muktamar tersebut juga diperkuat dengan keputusan Muktamar ke 14 di Magelang,
14 Jumadil Ula 1358 H/ 1 Juli 1939 M, yang memberikan penjelasan dan penekanan
seputar makna “penyerupaan” (at-tasyabbuh). Dalam konteks sekarang ini, hokum
tersebut jelas tidak sesuai lagi dengan kondisi realitas. Ini dikarenakan
manusia sekarang ini mengalami pergeseran kearah kehidupan global yang memiliki
cirri universalitas tradisi dan budaya.
Barangkali juga,
ada pertanyaan yang muncul dalam benak kita, kenapa Mbah Ma’shum-
sepertinya-terlalu mudah untuk mengubah pandangan fiqhnya? Disini, kita bisa
memahami bahwa Mbah Ma’shum selama itu menggunakan kaidah ushul al-fiqh yang
menyatakan:
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْداً وَعَدَمًا
Bahwa
hukum yang diputuskan senantiasa harus mengikuti alasan-alasan yang
mendasarinya.
Dari situ bisa
diketahui bahwa, jika alsan-alasan itu telah hilang, maka dengan sendiri hukum
itu akan mengalami perubahan.
f. Warisan
Mbah Ma’shum
Sebagai seorang kiai, Mbah Ma’shum tidak
meninggalkan sesuatu yang bersifat material. Beliau hanya meninggalkan
pesantren dan berbagai pesan-pesan spiritual. Juga, sebagai kiai yang disegani,
Mbah Ma’shum pun memilki kekeramatan diantaranya, ketika Mbah Baidhowi wafat,
beliau merasa bahwa ajalnya telah dekat, dan beliau mengatakan “ saya akan
meninggal dua tahun lagi seandainya hari ini penanda wafat”. Kurang lebih
dua tahun setelah itu beliau benar-benar wafat.
Lain halnya dengan pengalaman Bapak Zulkifli semasa
mendampingi Mbah Ma’shum berpergiaan tour silaturahmi di wilayah Jawa Tengah –
Jawa Timur. Saat ada dikereta api dari Pekalongan menuju Tegal, Mbah Ma’shum
kehilangan kacamata. Seketika Mbah Ma’shum mengajak para opengikutnya untuk
membaca surat adh-Dhuha delapan kali, khusus ketika sampai bacaan fa-hada-yakni
ayat Wa wajadaka dhollan fa hada- dibaca delapan kali.
.... وَوَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدَى،....
Saat
itu Mbah Ma’shum dawuh: ... “dengan membaca ayat itu, insya Allah barang kita
yang hilang akan kembali. Mungkin barang itu bukan asli (milik kita yang
hilang), tetapi setidaknya Allah akan
memberikan ganti yang sesuai.
Perjalanan dilanjutkan ke Majenang. Cilacap, lalu
belok kearah timur menuju kebumen, dan berkunjung ke rumah Kiai Fathurrahman (
Wonoyoso, Kebumen kota). Ketika sampai dirumah Kiai Fathurrahman itu, Mbah
Ma’shum melihat sebuah kacamata yang ada di lemari kaca milik tuan rumah. Kaca
mata itu persis seperti milik beliau yang hilang dalam perjalanan. Secara
spontan, Mbah Ma’shum berseru Alhamdulillah, dan berkata kepada Kiai
Fathurrahman, apa ini kacamata saya? Kiai Fathurrahman menjawab, “ ya
mungkin saja, Mbah..” Lalu, dipakailah kacamata itu oleh Mbah Ma’shum. Dan
lain sebagainya.
Pesan-pesan atau ijazah dari beliau, sebenarnya,
tidak saja dikhususkan kepada santri-santri saja, melainkan untuk umat juga.
Dan pula, apa yang beliau ijazah-kan tidak harus disampaikan secara formal,
akan tetapi bisa juga-dan sering- disampaikan secara informal. Misalnya ketika
suatu kali Mbah Ma’shum menyuruh santri bernama zulkifli untuk mengecek
persediaan beras di al-hidayat. Beras sudah habis, dan habisnya beras itu
disusul dengan terjadinya musim kemarau dilasem. Mbah Ma’shum menyuruh zulkifli
untuk memanggil cucu-cunya, diajak istighosah Mbah Ma’shum memimpinya dan
membaca potongan syair al-Burdah:
ياَ
أَكْرَمَ اْلخَلْقِ ماَ لِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ # سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ
الحاَدِثِ الْعَمَمِ
Syair al-Burdah tersebut dan dibacanya sebanyak
(lebih kurang) 80 kali, dilanjutkan dengan berdo’a “ Ya Allah Gusti,
orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak , akan tetapi beras
yang ada pada kami telah habis. Untuk itu, kami memohon rezeki darimu...”
Beberapa hari kemudian, datanglah beberapa orang memberikan beras-dalam jumlah
yang besar-baik dari pemalang, pasuruan, dan lain sebagainya. Menurut Bapak
Zulkifli, wirid istighosah itu jika diamalkan sangat manjur, Bi-masyiatillah.
2. KH. MA. Sahal Mahfudh
a.
Biogafi singkat
Nama lengkapnya
adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh Bin Abd Salam Al HAjaini, lahir di
kajen margoyoso kabupaten pati pada tanggal 17 desember 1937. Sejak kecil
sampai sekarang, kiai Sahal tidak lepas dari pesantren, hidupnya memang di
pesantren, besar di pesantren dan berkembang sampaisaat ini di pesantren.
Ibunya bernama Hj.Badi’ah (wafat 1945) dan ayahnya bernama kiai Mahfud Bin Abd
Salam Al-hafidz (w. 1944). Dari ayah maupun ibu, Kiai Sahal berada di
lingkungan Kiai yang mendalam tradisi khazanah klasiknya (kitab kuning) ,
mengedepankan harmoni sosial dan sopan santun (tawadlu’), serta jauh dari kesan
menonjolkan diri.
Kiai mahfudh
terkenal orang yang wira’I dan zuhud dengan pengetahuan agama yang sangat
mendalam, ilmu ushulnya luar biasa. Beliau juga hafidzul qur’an. Beliau
meninggal dipenjara ambarawa 1944 pada saat melawan tentara jepang. Pasca
kejadian ini yang mengasuh kiai sahal
berpindah-pindah. Pernah diasuh kiai Nawawi yang terkenal keramat
Pendidikan formal kiai sahal dimulai sejak usia 6
tahun(1943) diperguruan Islam Matholi’ul Falah madrasah pimpinan bapaknya sendiri
sampai tingkat tsanawiyah tahun 1953. Setelah beberapa waktu di rumah kiai
sahal akhirnya melanjutkan kepesantren bendo Kediri sebagai tempat mengajinya,
sebuah pesantren yang diasuh oleh kiai muhajir. Dibendo ini kiai sahal
memperdalam keilmuan ilmu tasawuf dan fiqh. Setiap ada waktu kosong
dimanfaatkan untuk musyawarah dengan temannya. Kalau sedang libur pada hari
selasa dan jum’at, tanpa sepengetahuan teman-temannya dipondok, kiai sahal
memanfaatkan waktu untuk kursus dipare, seperti kursus ilmu administrasi,
politik, bahasa arab, dll. Untuk menunjang hal ini kiai sahal juga langganan
majalah, bahkan sejak kelas 3 tsanawi kiai sahal terbiasa mengkonsumsi majalah
sebagai penyemangat hidupnya dimasa depan. Sahal punya anggapan, bahwa
informasi sangat penting bagi eksistensi manusia di dunia ini, karena dengan
informasi itu ia bisa bersikap, menyampaikan ide dan gagasan, dan memprediksi
masa depan.
Kiai sahal dalam
belajar selalu mempunyai target, oleh sebab itu beliau brusaha semaksimal
mungkin untuk mencapainya. Setiap malam selalu mutholaah secara disiplin,
kekuatan mutholaah kiai sahal diatas rata-rata. Beliau saat belajar mulai ba’da
isya’ sampai jam 10 dengan jongkok. Beliapun pernah membaca kitab minhaj yang
jumlahnya 11 juz sampai khatam, itupun
hasil pinjaman. Setelah 4 tahun di bendo (mulai 1945-1957) selanjutnya ia
mengembangkan lagi ilmunya ke pondok pesantren al anwar sarang rembang, dengan
kiainya yang sangat alim, kiai Zubair.
Dipondok al
anwar ini kiai sahal membatasi jadwal ngajinya. Ia lebih banyak belajar sendiri
disamping tugasnya sebagai ustadz. Pada tahun 1960 kiai sahal boyong dari
sarang ke kampong halamannya. Setelah beberapa lama dirumah kiai sahal akhirnya
pergi ke Makkatul mukarromah untuk menunaikan haji. Kesempatan ini digunakan
untuk berguru kepada syekh Yasin Bin Isa Al Fadani, ulama mekah yang sangat
popular, dikenal sebagai ahli hadits
b.
Filosofi fiqh sosial kiai Sahal
Landasan
pemikiran filosofinya yang dijadikan pijakan, antara lain:
1)
Difinisi syari’ah / din, agama. Kiai sahal selalu
menekankan kajian mendalam tentang pengertian din yaitu :
وَضْعُ
اِلَهِيٌّ سَائِقٌ لَذَوِيْ الْعُقُوْلِ بِاخْتِيَا رِهِمِ الْمَحْمُوْدِ أِلَى
مَايُصْلِحُ مَعَاشَهُمْ وَمَعَادَهُمْ
“Ketentuan Ketuhanan yang mendorong orang yang berakal sehat
untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dari
definisi ini Kiai Sahal menyimpulkan, bahwa syari’at/agama tidak hanya berkutat
dalam masalah hubungan hablum minallah tapi juga mengembang dalam wilayah
hablum minannas.
2)
Definisi fiqh.
Selain definisi agama, Kiai Sahal selalu menjelaskan secara detail definisi
fiqh untuk dijadikan ‘entry point gagasan fiqh sosialnya. Definisi fiqh adalah:
عِلْمٌ باِلأَحْكأَمِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهاَ التَّفْصِلِيَّةِ
Fiqh
adalah ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari
dalil-dalilnya yang terperinci.
Definisi
ini mengandung tiga subsansi dasar yang sangat krusial. Pertama, ilmu fiqh
adalah ilmu yang paling dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika
sosial yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua ilmu Fiqh sangat
rasional, mengingat bahwa ia ilmu ikhtisabi. Ketiga fiqh adalah ilmu
yang menekankan pada aktualisasi , real action, atau biasa dikatakan amaliyah,
bersifat praktis sehari-hari.
3) Aplikasi
qawa’id ushuliyyah dan fiqhiyyah. Kaidah fiqhiyyah yang sering dipakai Kiai
Sahal adalah:
تَصَرُّفُ الْأِماَمِ عَلَى
الرَّعِيَتِهِ مَنُوطٌ باِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus
sesuai dengan kemaslahatan/kesejahteraan rakyatnya
اَلْمُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ
اْلقَاصِرِ
“Sesuatu yang multi fungsi dan multi
effect lebih utama dari sesuatu yang manfaatnya terbatas”
اَلدَّفْعُ أَوْلَى مِنَ الرَّفْعِ
“Mencegah lebih utama daripada
menghilangkan”
التَّأْسِيْسُ أَوْلىَ مِنَ
التَّأْكيْدِ
“Merintis itu lebih utama daripada
menguatkan”
اِعْماَلُ الْكَلَامِ أَوْلىَ مِنْ
اِهْماَلِهِ
“Memfungsikan perkataan lebih utama dari
membiarkanya”
ماَلاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ
جُلُّهُ
“Sesuatu yang tidak didapatkan semuanya,
tidak boleh tinggal yang paling utama/semuanya”
دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ مُقَدَّمٌ
عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Menolak kerusakan didahulukan dari
mendatangkan kemaslahatan
الضَّرُوْراَتُ تُبِيْحُ
الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan terpaksa/terjepit membolehkan
sesuatu yang dilarang”
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتاَنِ
رُوْعِيَ أَعْظَمُهُماَ ضَرَرًاباِرْتِكاَبِ اَخَفَّهِماَ
“Apabila dua kerusakan
bertentangan, maka dijaga bahaya yang paling besar dengan memilih bahaya yang
paling sedikit”. Dan lain sebagainya.
4)
Pengembangan
teori masalikul illah. Secara metodologis hal ini bisa dilakukan dengan
memasukkan hikmah hukum kepada illat hukum.
5)
Maslahah ammah
6)
Tradisi
Masyarakat (‘adah ijtima’iyyah)
7)
Ijtihad jama’i
3. KH. A. Mustofa Bisri
a. Riwayat
Hidup dan Pendidikanya
Nama lengkapnya Achmad Mustofa Bisri dilahirkan di Rembang pada 10 Agustus 1944. Gus Mus (panggilan
populernya) memperdalam
ilmu di Pesantren Lirboyo Kediri dibawah asuhan KH.
Marzuki dan KH. Machrus Ali. Gus Mus juga suntuk di Pondok Pesantren Krapyak,
Yogyakarta dibawah asuhan KH. Ali
maksum
dan KH. Abdul Qodir. Puncaknya belajar di Universitas Al Azhar, Kairo. Di Al Azhar
itulah, untuk pertama kali Gus Mus
bertemu
dan berkenalan dengan Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia.
Seperti pengakuannya sendiri, mereka
kemudian tinggal di satu kamar. Gus Dur banyak membantu
Gus Mus selama di perguruan tinggi tersebut. Bahkan sampai memperoleh beasiswa.
b.
Aktifitas dan Perjuangan KH. Mustofa Bisri
Gus Mus adalah seorang kiai yang wawasannya luas dan serba bisa. Ia menguasai ilmu agama
(khususnya Islam) dengan baik,
sekaligus mampu menjelajah berbagai khazanah ilmu di luar lingkar agama (Islam) formal. Gus
Mus bukan hanya dikenal dan mempunyai kolega di habitatnya, yaitu kalangan
agamawan, pesantren, dan ulama, melainkan juga mempunyai jejaring yang luas di
kalangan seniman, budayawan, dan masyarakat lainnya. Spektrum pergaulan Gus Mus
sedemikian luas dan beragam.
Di Indonesia jarang ditemukan kiai serba bisa seperti halnya Gus Mus, apalagi jika dibatasi lagi
dalam konteks kiai Nahdlatul Ulama (NU). Dalam jagat pesantren dan NU, Gus Mus adalah sosok kiai yang
"nyentrik" karena bukan hanya concern terhadap
wacana agama an sich, melainkan juga punya apresiasi yang luas terhadap sastra, seni,
dan budaya. Ketika masih terdapat
kiai
dan pesantren yang menganggap asing, tabu, bahkan haram terhadap seni, Gus Mus justru telah
lama melampauinya.
Sebagai seorang intelektual dan cendekiawan, beliau termasuk produktif melansir pemikiran
dan menerbitkan buku. Sesuai
dengan basisnya sebagai seorang kiai, pemikiran-pemikiran Gus Mus kental dengan nuansa agama
dan religi, khususnya yang berangkat
dari khazanah Islam. Salah satu ungkapannya yang terkenal
adalah "kesalehan ritual" dan "kesalehan
sosial" untuk menunjuk
posisi ideal seorang yang beragama.
Diantara karya-karya Gus Mus yangsangat monumental
adalah : 1) Ensiklopedi Ijmak (Terjemahan bersama KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz,
Pustaka Firdaus, Jakarta), 2) Maha Kiai Hasyim Asy’ari (Terjemahan, Kurnia
Kalam Semesta, Jogjakarta); 3) Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, Cet. I Al-Huda,
Temanggung; Cet.
II 2007, MataAir Publishing); 4) Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung),
5) Fiqh Keseharian Gus Mus (Cet.
I Juni 1997 Yayasan Al-Ibriz bejerhasana dengan Penerbit Al-Miftah} Surabaya; Cet. II April
2005, Cet. III Januari 2006, Khalista,
Surabaya bekerjasama dengan Komunitas Mata Air), 6) Canda nabi & Tawa Sufi (Cet. I
Juli 2002, cet. II November 2002,
Penerbit
Hikmah, Bandung), 7) Syi'iran Asmaul Husnaa (Cet. II MataAir Publishing, 2007,Surabaya)
dan masih banyak lagi yang lain.
c.
Kerangka
Metodologis Pemikiran Hukum Islam KH. Mustofa
1) Beristidlal dengan Nass al-Qur'an dan
al-Haditsh
KH. Mustofa Bisri dalam menjawab persoalanpersoalan
hukum yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu mendasarkan kepada nass
al-Qur'an dan atau al-Hadith di dalam menetapkan hukumnya.
Demikian juga ketika beliau, ditanya tetentang hukum menghajikan orang tua yang sudah
meninggal, beristidlal dengan
beberapa Hadith diantaranya :
ياَرَسُوْلُ
اللَّهِ اِنَّ فَرِيْضَةٌ اللَّهِ عَلىَ عِباَدِهِ فىِ الْحَجَّ أَدَرْكَتْ أَبِي
شَيْحًا كَبِيْرًا لاَيَثْبُتُ عَلىَ الرَّحِلَةِ أَفاَحَجُّ عَنْهُ قاَلَ:
نَعَمْ. وَ ذَلِكَ فِى حَجَّةِ الْوَداَعِ (متفق عليه)
Ya
Rasulullah, ketetapan Allah tentang wajibnya haji atas hamba-hamba-Nya,
bertepatan saat ayahku sudah sangat tua; tidak bisa lagi menunggang kendaran,
apakah aku boleh menghajikan untuknya? “Rasulullah SAW menjawab: “Na’am!” (Ya),
peristiwa terjadi ketika haji wada’”. (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas)
2)
Mempertimbangkan
Maslahah
KH. Mustofa Bisri dalam menjawab persoalan hukum
Islam selalu mempertimbangkan maslahah. Menurutnya dalam bidang ibadah, harus
berpegang pada al-Qur'an dan Hadith. Tidak akan sah ibadah mahdah seseorang,
bila hanya berpegang pada kaidah-kaidah al-Masalih al-Mursalah. Juga tidak sah bila hanya
berpedoman pada qiyas, karena maksud utama beribadah pada Allah ialah hanya
untuk mencari ridha- Nya. Dengan demikian, ibadah itu adalah semata-mata
merupakan hak prerogatif Allah sendiri, bukan orang lain.
Adapun dalam bidang muamalah atau masalah-masalah
yang menyangkut fardhu kifayah, dalam hubungan kehidupan untuk mensejahterakan
sosial, prinsipnya adalah memelihara kemaslahatan duniawi. yang dapat
dipikirkan oleh akal sehat. Karena itu ulama sepakat bahwa dalam urusan
muamalat dan adat ('urf) kita perlu memperhatikan illat (latar belakang
munculnya hukum), yaitu hukum yang memperbolehkan atau melarang berbuat
sesuatu, seperti dalam bidang ekonomi berupa upaya mencegah sekaligus menekan
sedini mungkin angka kemiskinan, meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat
melalui penyediaan lapangan kerja. Di bidang sosial; menegakkan kontrol sosial,
menekan angka kesenjangan sosial dan lain lain, jadi dalam bidang muamalah
pertimbangan adanya maslahah atau mafsadat, manfaat atau madharat sangat
menentukan hukum suatu perbuatan.
3)
Menggunakan
Kaidah Fiqhiyyah
Diantara kaidah fiqhiyyah yang digunakan KH. Mustofa
Bisri dalam Buku Fiqih Kesehariannya adalah :
اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ
الْمَحْظوْراَتْ
“ Keadaan darurat bisa menyebabkan diperbolehkanya larangan”
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ
التَّيْسيرْ
“Kesukaran
itu bisa menarik Kemudahan”
Kaidah-kaidah tersebut digunakan oleh KH. Mustofa
Bisri, ketika menjelaskan tentang wudhu
bagi penderita beser, setelah beliau beristidlal kepada firman Allah
'Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS 2,
Al-Baqarah: 286)
'Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. “(QS 6, al-An'a>m: 152)
Untuk mempertegas jawaban bahwa orang beser yang
terus-terusan kencing, dan bahkan sering mengeluarkan air seni tanpa bisa
ditahan, sangatlah repot dan memberatkan, sehingga dapat dikatakan keadaan yang
berat tadi membawa kemudahan, dia kemudian menetapkan kemudahan yang
diakibatkan adanya kesulitan dengan kaidah :
اَلْمَشَقَّةُ تَجلِبُ
التَّيْسِيْر
“Kesukaran itu bisa menarik kemudahan”.
4)
Memperhatikan
Tradisi Masyarakat (‘Adah Ijtima’iyah)
Sebagaimana kaidah yang populer اَلْعاَدةْ
مُحكمة , tradisi yang
berkembang pada suatu masyarakat dijadikan sebagai sumber hukum. Kaidah ini
dalam praktisnya mengakui budaya lokal dan memberikan sentuhan keagamaan pada
tradisi tersebut, jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam satu ritual
budaya, di situ ada nilai lokalitas budaya dan universalitas ajaran Islam yang
sudah bersinergi dan terinternalisasi dalam budaya tersebut.
5)
Pola Pikir
Konstekstual, Praktis dan Tidak Kaku
Pola pikir kontekstual dalam memahami maksud shara'
(maqasid as-shari'ah) mempunyai kandungan yang amat luas. Mujtahid bisa
melakukan pendekatan apa saja dalam memahami shara', asal misinya tetap, yaitu
kemaslahatan umum. Ia mengaitkannya dengan latar belakang kondisi sosial dimana
atau kapan wahyu (teks) turun, mengaitkannya dengan latar belakang kondisi
sosial, politik, adat istiadat dimana ia tinggal, mengaitkannya dengan
masalah-masalah global dan kontemporer, dan kaitan-kaitan lainnya adalah
termasuk dalam cakupan kontekstual. Di
dalam memahami maksud nass adalah mencari makna di seberang teks, selagi hasil
yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks tersebut, kecuali teks
tersebut bersifat mutlak.
6)
Banyak
Menggunakan Pola Madhhab Qawliy
dari pada Pola Madhhab Manhajiy
Sebagaimana umumnya ulama NU (Nahdlatul Ulama) bahwa
terhadap al-masail al-fiqhiyyah al-waqi’iyyah KH. Mustofa Bisri menggunakan
pendekatan pola madhhab qawliy. Hal ini digunakan apabila masalah tersebut
memiliki tingkat urgensi yang tinggi bagi masyarakat dan perlu dengan cepat memperoleh
jawaban. Oleh sebab itu, dengan mengacu pada tekstualitas kitab madhhab dapat
segera diperoleh jawabannya.
Ketika KH. Mustofa Bisri ditanya tentang hukum wudu
bagi suami isteri yang bersentuhan, apakah dapat membatalkan wudunya ?. Beliau
menjelaskan bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah yaitu
masalah-masalah di mana kalangan ahli fikih sendiri berbeda pendapat sejak
dulu.
Ulama fikih berbeda pendapat tentang “senggolan
suami-isteri” atau lelaki-wanita pada umumnya. Ada yang mengatakan membatalkan
wudu, dan ada juga yang mengatakan tidak membatalkan wudu. Adapun sebab
perbedaan secara garis besar adalah perbedaan tafsiran terhadap firman Allah:
"Lamastum an-Nisa " dalam “ firman Allah QS 4, An-Nisa':
Pada ayat tersebut, menurut pandangan KH. Mustofa
Bisri ada yang mengartikannya dengan pengertian aslinya, yaitu: “menyentuh
wanita atau istri”, ada yang mengartikan dengan pengertian kiasan (majazy):
“menyenggamai wanita/istri”.
Menurut Hanbali, membatalkan jika bersentuhan
langsung dan dengan syahwat. Maliki: bagi lelaki yang menyentuh, batal wudunya
apabila sudah baligh dan menyentuh langsung wanita dengan maksud “menikmati”
atau merasa “nikmat”. Sedang menurut Hanafi: tidak membatalkan wudu, meskipun
misalnya, suami-istri telanjang dan menempel.
Sedangkan pola madhhab manhajiy, biasanya digunakan
KH. Mustofa Bisri untuk merespon al-masail alfiqhiyyah al-maudu’iyyah. Hal ini
digunakan apabila masalah yang akan dibahas tidak menghendaki jawaban secara
cepat, dan tingkat tuntutan kebutuhan bagi masyarakat lebih leluasa dibandingkan
al-masail al-fiqhiyyah al-waqi’iyyah. Al-masail al-fiqhiyyah al-maudu’iyyah
memerlukan pembahasan yang lebih serius dan memerlukan konsep yang matang
berkenaan dengan metodologi hukumnya.
Dari
uraian temuan-temuan di atas dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada
beliau maka di sini perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Kapasitas sebagai pemberi fatwa
dalam berbagai pendapatnya dapat digolongkan sebagai ulama yangberpegang pada
kaidah
اَلْمُحَافَضَةُ
عَلىَ الْقَدِيْمِ الصَّا لِحْ وَاْلاَحْدُ بِا الْجَدِيْدِ اْلأَصْلَحْ
Memelihara
produk pemikiran klasik yang masih relevan dan mengambil produk pemikiran beru
yang lebih relevan
Namun
demikian pendapat-pendapat beliau yang terangkum dalam "Fiqh Keseharian
Gus Mus" terutama dalam bidang muamalah menurut hemat penulis bisa saja
mengandung kesalahan atau keliru, hal ini karena menyangkut karakteristik fiqh
muamalah yang bersifat ijtihadiyyah (yang bisa saja benar dan bisa saja salah);
kebenarannya bersifat relatif dan bersifat ta'aqquli.
2. Dalam
Fiqih Keseharian Gus Mus, menurut pengamatankami sangat sedikit penggunaan
kaidah-kaidah usuliyah maupun kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai pendukung ketika
beliau memberikan fatwanya. Dalam kaitan ini Hasbi ash- Shiddiqi menyatakan
bahwa nilai seorang faqih (ahli hukum Islam) diukur dalam dan dangkalnya penggunaan
kaidahkaidah fiqhiyyah, karena di dalam kaidah-kaidah fiqhiyyah terkandung
rahasia dan hikmah fiqh.73 Dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqhiyyah
akan lebih mudah dalam menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang dihadapi
yaitu dengan memasukkan masalah tadi dan atau menggolongkannya kepada salah
satu kaidah fiqh yang ada
3. Pada
dasarnya kumpulan fatwa KH. Mustofa Bisri yang terangkum dalam Fiqih Keseharian
Gus Mus cukup memadai untuk khalayak umum. Akan tetapi untuk kalangan setingkat
perguruan tinggi masih diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan di sana-sini
karena masih ada beberapa bahasan yang dirasa ada yang tidak konsisten,
misalnya pendapat beliau yang merujuk pendapat imam madhhab. Namun demikian
beliau tidak mencantumkan referensinya.
d. Kontribusi
KH. A. Mustofa Bisri Terhadap Pengembangan Hukum Islam
Dewasa ini perkembangan pemikiran hukum Islam telah
menjadi daya tarik dan menjadi unsur penting dalam pembentukan masyarakat yang
beradab. Persoalan-persoalan hukum Islam yang baru di sekitar masyarakat terus
bermunculan. Sementara rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun yang
lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini.
Situasi politik dan kebudayaan sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar
sesuai dengan ruang dan waktu. Demikian juga jika hanya berlandaskan pada
rumusan teks, maka persoalannya adalah bagaimana jika ada hukum yang tidak
ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih ? apakah harus mauquf (tidak terjawab
?), padahal me-mauquf-kan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh menurut hukum
sebagian ulama (fuqaha). Di sinilah perlu "fatwa baru" yang
mengakomodasi permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Di
sinilah peran penting ulama Fiqih dalam menjawab segala problem sosial termasuk
menjawab atas pertanyaan-pertanyaan hukum Islam yang diajukan kepadanya.
Hal inilah yang telah dilakukan KH. Mustofa Bisri.
Dalam konteks ini apa yang telah dilakukan KH. Mustofa Bisri dalam menjawab
persoalan-persoalan hukum Islam yang diajukan kepadanya sebenarnya mempunyai
kedudukan yang sama dengan seorang mufti. Kontribusi penting yang diberikan KH.
Mustofa Bisri adalah sikapnya dalam berfatwa yang tidak terikat oleh suatu
madhhab tertentu. Sikap ini menjadi penting di tengah digalakkannya
pengembangan pemikiran hukum Islam yang mensharatkan adanya kebebasan berpikir
dan tidak terikat pada suatu madhhab tertentu. Tentu saja kebebasan berpikir
versi KH. Mustofa Bisri adalah kebebasan yang terukur dan terbingkai dalam
maqasid as-shari'ah yang menjadi tujuan diturunkannya shari'ah Islam
Apa yang dilakukan KH. Mustofa Bisri sebenarnya
dalam rangka untuk mengawal hukum Islam agar tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan. Dalam konteks ini beliau
menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif-tekstual sangatlah
terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas
jumlahnya. Kiranya apa yang ]dilakukan KH. Mustofa Bisri secara tidak langsung
beliau telah merespon pernyataan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid
sebagai berikut :
اِنَّ الْوَقَائِعُ
بَيْنَ اَشْحَاَصِ الاِنْسَا ن غَيْرُ منُّتَنَا هِيَةٍ والنُّصُوْصُ
وَاْلاَقْوَلُ وَاْلاَقْرَرُ مُتَناَهِيَةٌ وَمُحَالٌ اَنْ يُقاَبِلُ ماَلاَ
تَتَناَهىِ بِمَا تَتَناَهِي
Persoalan-persoalan
kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nass (baik
al-Qur'an maupun al- Hadith) jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil
sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.
4. Prof.
DR. Said Aqiel Siradj, MA
{
Sutu ketika ia mendapat telpon dari polda metro jaya.Ia diminta dating ke polda
untk berdialog tentang agama dengan Ahmad Musaddeq yang mengaku sebagai seorang
nabi.Prmintaan itu langsuntg diiyakan.
Di damping Agus miftah (ahli jaringan
yahudi),Dr Bachktiar ali (pakar komunikasi),serta wakil dari MUI,Kejaksaan
Agung dan dari Kepolisian,Kang said berdialog bebas dengan musaddeq.sementara
yang lain melihat proses jalanya dialog.sampai mereka akhirnya menjadi saksi
atas kehebatan tokoh asal Cirebon itu.
Mula-mula
musaddeq dipersilakan untuk menjelaskan asal-usul diri dan perjalanan
sepiritualnya hingga bias memproklamirkan diri menjadi seorang nabi.Musaddeq
menceritakan secara runtuk perjalanan spritualnya,termasuk adanya bisikan di
Arofah yang mengangkat dirinya sebagai nabi.Tak lupa ia membacakan ayat-ayat Al
Qur’an untuk memperkua, t kemungkinan masih adanya nabi terakhir,yang lain
adalah dirinya.
Ia
juga menjelaskan alas an ajaran yang dibawanya tentang sholat yang tidak harus
dilakukan lima kali sehari,tapi cukup satu kali ditengah malam,lalu dilanjutkan
dengan merenung.juga puasa sebulan Ramadhan yang bias diganti dengan puasa
senin-kamis.
Ketika
kang said diberikan kesempatan bicara,ia menanggapi perjalanan spiritual
musaddeq itu dari sisi tasawwuf dan tauhid.Termasuk adanya tingkatan wahm
(halusinasi),khayal (imajinasi),ilmu yaqin ,ainul yaqin, haqqul yaqin ,wahyu
,dlsb.Aneh.Musaddeq yang mengaku seorang nabi malah tidak nyambung dengan
bahasa itu.Ia tampak terkagum-kagum dengan ulasan kang said”baru kali ini saya
mendapatkan penjelasan seperti ini,”musaddeq mengakui kedalaman ilmu lawan bicaranya.Setelah berlangsung dialog
bebas selama 3 jam,tampaknya secercah hidayah telah membuka hati musaddeq.Ia meminta waktu 3 hari untuk
merenungkan kembali langkah yang telah diyakininya dan telah mendapatkan
puluhan ribu pengikut itu.Sampai akhirnya setelah waktunya tiba,ia menyatakan
taubat dan kembali kejalan yang benar.”Alhamdulillah ,Do’a saya diterima untuk
bertemu ulama,tempat saya bermudzakarrah (diskusi).Sekarang saya sadar kalu
langkah saya selama ini salah,”aku musaddeq.Di sisi lain kang said juga
mengakui kehebata Musaddeq.”Dia memang hebat.Paham dengan Asbabun Nuzul Al
Qur’an dan Asbabul Wurud Al Hadits.Hanya ada sedikit saja yang kurang pas ,dia
mengaku nabi,itu sajja,”jelas kang Said}
a.
Riwayat Hidup dan Pendidikan
Lahir
di Cirebon 3 juli 1953 ,Ayahnya KH.Agil Sirodj pengasuh pondok pesantern
Kempek,Cirebon.Sedangkan kakeknya ,KH Sirodj bin Sai’d pengasuh pondok gedongan
sindanglaut ,Cirebon Timur.Sai’d Aqil termasuk golongan darah biru kiai dan
Bangsawan.Ayahnya masih saudara misan dengan KH Mahrus Aly Lirboyo
,Kediri.Keduanya merupakan keturunan Sunan Gunung Jati.
Sedangkan
Ibunya Ny Hj Afifah Harun,masih dengan sepupuh KH Idris Kamali,salah seorang
menantu Hadrartus Syeikh KH Hasyim Asy’ari .yang juga pengasuh pondok pesantern
Tebuireng Jombang.
Pendidikan
: Menamatkan
pendidikan dasar di kampong
halaman dengan masuk SR Gempol ,merangkap pesantern Tarbiyyatul Mubatadiin di
pondok Kempek ,Cirebon.Pindah ke pondok pesanren Lirboyo Kediri Asuha KH
Mahkrus Aly,sambil melanjutkan ke madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo (1968
-1970 ).Saat berngat ke Lirboyo ia sudah menghatamkan kitab Alfiyah dikampung
halaman.Tidak heran kalau selama di Lirboyo ia di kenal mahir ilmu Alat.Bahkan
salah satu yang terbaik pada masa itu.
Pindah
ke Pesantern Al Munawwir Krapyak,Jogjakarta .Asuhan KH Ali Ma’sum (1972-1975), Sambil kuliah di
fakultas Adab IAIN Sunan Kali Jaga Jogjakarta. Namun
tidak sampai tamat,karena ia ogah-ogahan masuk kampus.Karena hamper semua mata
kuliah yang ada dinilai telah mengulang semasa di pesantern,membuat semangat
kuliahnya kendur.
Pada
28 Desember 1979 Ia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Syari’ah King Abdul Azis
Cabang Mekkah,lulus tahun 1982 dengan predika caumlaude .Masuk PPS Universitas Ummul Qura’ Fakultas
Usuluddin ,lulus 1987 dengan predikat jayyid jiddan (sangat memuaskan).Melanjutkan
ke program doctor di kampus yang sama
mengambil jurusal Ushuluddin ,lulus 1994 dengan predika Caumlaude.
Di
sinilah terlihat betapa cerdasnya seorang sai’d Aqil .Hingga saat ini baru hanya dua orang di
Indonesia yang berhasil memperoleh predikat Caumlaude program doctor di Ummul Qura’.Seorang lainya
bernama Satria Effendi yang saat
ini sudah meninggal dunia.
Selam
13 tahun menetap di Saudi Arabia ,ia telah dua kali meraih predikat Caumlaude
semasa S1 di Universitas King Abdul Azis dan S3 di Ummul Qura’.sekali meraih
peringkat Jayyid jiddan semasa menempuh pendidikan S2 di Ummul Qura’.
b. Pengabdian
di NU
Semasa
kuliah di IAIN jogja ia menjadi
sekretaris PMII Rayon Krapyak(1972-1974 ).Ketika kuliah di Saudi Arabia,ia menjadi ketia Mahasiswa Nahdlatul Ulama
(KMNU) Makkah (1983-1987 ).Sepulang dari tanah suci langsung menjadi Wakil
Katib Syuriah PBNU hasil muktamar
Cipasung (1994-1998).Tak lama kemudian naik menjadi Katib Am PBNU
(1998-1999).
Hasil
Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri menempatkan dirinya menjadi seorang Rois
Syuriah PBNU mendampingi KH MA Sahal Mahfudh (1999-2004).Dan setelah muktamar
ke-31 di Donohudan,Solo.namanya menjadi seorang ketua PBNU mendampingi KH A
Hasyim Muzadi (2004-sekarang ).
Berbagai
posisi penting telah dipercayakan padanya di dalam maupun luar NU.Diantaranya
Wakil Ketua Tim Lima bentukan PBNU yang bertugas menyusun AD/ART PKB menjelang
partai itu di dirikan (1998 ),anggota Komnas HAM ,Ketua Tim Gabungan Pencari
Fakta Kasus Pembantaian Dukun Santet
Banyuwangi (1998 ),Wakil Ketua TGPF Kerusuhan Mei (1998),Ketua Panitia Muktamar
ke-30(1999),Ketua Panitia Munas NU di
Surabaya (2006 ),dlsb.
Di
saat PBNU menggelar ICIS I (2004) dan ICIS II (2006 ) di Jakarta ,ia bertindak
sebagai juru bicara PBNU mewakili Ulama Indonesia .Sedangkan di jajaran PBNU ia
di percaya membidangi Wilayah kerja Zona Timur Tengah.
c. Pengabdian
Lain
Dikenal
sebagai seorang pendidik dan narasumber seminar yang berbobot.Pemikiranya
cemerlang dan lintas batas.Ia juga bergaul dengan banyak komunitas luar NU dan
Islam.Karena pergaulanya yang luas dan pemikiranya yang sedikit beda itu,seringkali memunculkan sikap
controversial di tengah masyarakat.
Ia
juga seringkali menjadi narasumber
seminar di tengah umat lain.Semisal sarasehan Paroki Santa Anna (1998),Bamus
Antar Gereja (1997 dan 1998 ),Vihara
Darma Mitra (1998),konferensi GKD ,GKRI ,YMPI ,JRC ,APOSTOLOS ,KOS ,YMBI ,CLR
(1999),Uki Atmajaya (1999).Bahkan pernah berkhutbah ditengah umat Kristiani di
gereja Aloysius Gonzaga (Algonz ) Surabaya (1998) ,Sebuah perjalanan tokoh
islam yang belum pernah dilakukan orang lain sebelumnya.
Karena
pemikiranya yang lintas batas itu ,ia juga sering menjadi narasumber seminar yang bertopik Agama maupun
Kebangsaan.Diantaranya tentang
Transplantasi Ginjal (1995 ) Rekonsiliasi Tasawwuf dan Syariat (1996 ),Transmigrasi Pesantern (1996 ),SDES (1997) ,Revolusi politik ,Eonomi
,Hukum ,moral dan Budaya (1998 ) ,formasi hukum dan plurarisme politik dan
Lemhanas (1999) ,HAM ,dlsb.Bahkan beberapa kali menjadi pembicara dan dialog
interaktif di tengah sekolah lanjutan perwira Polri dan mudzakarroh Mabes TNI
(2001-2004 ).Ia juga beberapa kali menjadi narasumber Internasional di Teheran
,Iran (1999 dan 2000 ),Manila (2003 )maupun di Jakarta (2004 dan 2006 ).
Ia
pula yang menaklikan Musaddeq (Orang
yang mengaku sebagai nabi di Jakarta ) Lewat perdebatan panjang tentang hakekat
kenabian .Sampai akgirnya musaddeq sadar
dari kekeliruanya dan bersedia kembali kejalan isalm yang benar (2007 ).
Hingga
kini (2010) kesibukan kang sai’d –begitu biasa disapa-lebih banyak dihabiskan
di dunia pendidikan dengan menjadi Dosen di perguruan tinggi .Di antaranya
Pascasarjana UI, Pascasarjana UIN Jakarta, Pascasarjana Unisma Malang
,Pascasarjana UNU Solo ,Pascasarjana ST Maqdum Ibrahim Tuban ,Ubaya Surabaya
,IAI Tribakti Kediri ,dlsb.
Selain
menjadi narasumber seminar nasional dan Internasional ,Kang said juga rajin
menulis.Beberapa buku telah berhasil
beliau selesailkan .Karena rajin membuka dan menulis buku itu ,tidak heran
kalau dalam pengajian ia seringkali bias menyebutkan 32 mata rantai keilmuan para ulama yang terus bersambung
hingga Rosulullah SAW.
d. Fatwa
Kang Said Dalam Bukunya Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik Kaum Santri
1. Presiden
Wanita
Kebanyakan
kiai, ulama serta fuqaha’ melarang wanita menjadi seorang presiden berdasar
firman Allah SWT, “ ar-rijaalu qawwamuuna ‘alan-nisa, laki-laki itu
pemimpin bagi kaum wanita. Mereka memahami ayat tersebut secara tekstual, bahwa
term pemimpin itu identik dengan presiden, karenanya hanya laki-laki yang
berhak menjadi pemimpin (presiden). Pemahaman ini dikuatkan lagi dengan sebuah
hadits shahih, “lan-yufliha qaumun wallau amra-hum imra’atan, tidak akan
bahagia kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa, presiden) seorang
wanita. Untuk menguji akurasi pendapat para ulama itu tentu diperlukan
pengkajian lebih intens. Benarkah dalam islam wanita-diharamkan menjadi
presiden (pemimpin).
Menurut
Kang Said, wanita memiliki kesempatan yang sama dengan pria dalam menggapai hak
untuk dipilih sebagai presiden. Pemahaman yang menghalangi tempilnya kaum hawa’
sebagai pemimpin (presiden), hanya didasarkan pada pemahaman nash secara
tekstual-interpertatif. Jika nash yang dianggap sebagai landasan larangan itu
dipahami dengan memberikan interpretasi secara kontekstual, akan diperolah
hukum sebaliknya, jawaz (boleh). Alangkah baiknya, jika wacana ini dipahami?.
2. Golput
dalam prespektif Islam
Golongan
putih (Golput) bukanlah nama suatu partai politik. Namun dalam perjalanan
pemilu di Indonesia eksistensinya senantiasa membayang-bayangi pelaksanaan
pesta demokrasi tersebut. Menurut Kang Said, sebagai upaya untuk menegakkan
kedaulatan rakyat, Pemilu merupakan suatu keharusan bagi kontinuitas
pemerintahan yang konstitusional sebagai pengatur urusan kaum muslimin
(rakyat). Disamping sebagai usaha mengaplikasikan kaidah ‘maa la yatimmu
al-wajib illa bihi fahuwa wajib’ Artinya: Sesuatu yang tanpa kehadiranya,
suatu kewajiban (dalam syari’at Islam) tidak sempurna, maka perkara tersebut
hukumnya wajib.
Meski
demikian, patut digaris bawahi, bahwa secara fardiyah hak pilih warga
negara tidak bisa diganggu gugat. Mereka bisa menyalurkan hek tersebut sesuai
dengan hati nurani sebagai manivestasi dari kedaulatan rakyat. Tidaklah
dibenarkan (haram) adanya upaya-upaya pemaksaan kehendak untuk menyalurkan
kepada suatu OPP ataupun sikap golput kepada mereka. Sebalikny, seseorang juga
berhak sepenuhnya untuk memilih salah satu OPP yang representatif baginya
ataupun golput. Karena itu pencoblosan begi seorang warga negara itu mandub
saja atau paling tidak fardlu Kifayah.
BAB III
PENUTUP
Munculnya para ahli hukum Islam di
Indonesia menandai perkembangan hukum Islam Indonesia yang cukup signifikan.
Diantaranya yaitu Mbah Ma’shum Lasem, KH. MA. Sahal Makfudz, KH. A. Mustofa
Bisri, dan Prof. DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Mbah Ma’shum Lasem, menggunakan nalar berfikir para Kiai pada umumnya yaitu sangat teguh memegang syari’at dan secara spesifik fiqh Syafi’i.
Dalam berdialog dengan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat pun beliau mempunyai pandangan yang moderat
Kiai MA. Sahal Mahfudh landasan yang dijadikan pijakan dalam
filosofi pemikiranya yaitu definisi Syari’ah/din, definisi fiqh, Aplikasi
qawa’id ushuliyyah dan fiqhiyyah, pengembangan teori masalikul illah, Maslahah
ammah, Tradisi masyarakat (‘adah ijtimaiyyah), dan ijtihad jama’i.
KH. A. Mustofa Bisri dalam
berfatwa tidak terikat oleh suatu madhhab tertentu. Tentu saja kebebasan berpikir versi KH.
Mustofa Bisri adalah kebebasan yang terukur dan terbingkai dalam maqasid
as-shari'ah yang menjadi tujuan diturunkannya shari'ah Islam. Beliau jarang
menggunakan qawa’id ushuliyyah dan fiqhiyyah
kebanyakan dari bayan illahiyah dan bayan nabawiyyah.
Prof. DR. KH. Said Aqiel Siradj, MA.
Mencetuskan pemikiranya, disamping berpijak dengan Bayan illahiyyah, bayan
Nabawiyyah namun beliau juga berpegang teguh pada bayan aqli yang shahih.
Terlepas dari berbagai gagasan yang diutarakan oleh keempat
pembaharu hukum Islam diatas, kita
sebagai masyarakat awam, haruslah mengambil point-point penting, yang dapat
membawa kita pada satu kesatuan, tanpa harus terpecah-pecah karena perbedaan
madhhab yang ada. Berfikir selektif dan global terhadap apa yang ada, bersikap bijak
terhadap pemikiran-pemikiran baru yang muncul mungkin dapat menjadi salah satu
solusi dari ancaman perpecahan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Ma’mur Jamal. 2007. Fiqh Sosial
Kiai Sahal Mahfudh. Surabaya: Khalista
Bisri,Ahmad Mustofa .2008. Fiqh Keseharian
Gus Mus. Surabaya: Khalista
Fadeli,Sulaiaman dan Muhammad Subhan, S.Sos, 2010. Antologi
NU Buku II Syarah-Istilah-amalan-Uswah. Surabaya: Khalista
Siradj, Said
Aqiel. 1999. Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik Kaum Santri. Ciganjur:
Pustaka Ciganjur
Thomafi, Lutfi M. 2012. Mbah Ma’shum Lasem
The Authorized Biography Of Mbah Ma’shum. Yogyakarta: LKiS Group – Pustaka
Pesantren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar