Selasa, 25 September 2012

MATA RANTAI KEILMUWAN PARA ULAMA NU


Asy’ariyah dan sedikit Syi’ah masih eksis sampai saat ini, karena Apa ? Karena ada santri yang meneruskanya. 
BERIKUT MATA  RANTAI KEILMUWAN PARA ULAMA’ NU YANG TERUS MENYAMBUNG SAMPAI NABI MUHAMMAD SAW.  Kesemuanya Mutabakhir. NU-ALA THORIQIL KHAQ (Jika ada yang kurang dan ada yang salah dalam penulisan mohon dibenarkan, saya ambil dari ceramah beliau PROF. DR. KH. SAID AQIEL SIRADJ MA.)
Nabi Muhammad SAW punya murid Ali Bin Abi Tholib, Putra sayyidina Ali dari Istri kedua Khaulah Binti Ja’far dari suku bani khanifah  yang bernama (Muhammad), Muhammad bin Ali punya murid namanya Washil bin Atho’ (Pendiri Mu’tazilah Orangnya Hebat Luar biasa, tidak bisa mengucapkan huruf “R’” dan “Ro’” tetapi selama berdiskusi, debat  berjam-jam beliaunya tidak pernah menggunakan huruf R & Ro’). Wasil Punya murid Amr bin Kubaiyyik (Pencipta ilmu balagha). Amr punya murid Ibrohim Annadhom. Ibrohim punya murid Abu Khuzair Al-allaf. Abu Khuzair punya murid Abu Hasyim Al-juba’I. Abu Hasyim Punya murid Abu Ali Al-juba’I <orang mu’tazilah>.
Abu Ali Al-Jubai punya murid Abu Hasan Al-asy’ari (Pendiri Paham Asy’ariyah, aktivis Mu’tazilah selama +/- 40 tahun, Demi ngopeni rakyat-rakyat kecil dan meluruskan dari paham-paham yang ada saat itu (Qodariyah, Jabriyah, Murji’ah, Mu’tazilah, dll) beliau rela keluar dari mu’tazilah dan mendirikan paham baru yang kita kenal Asy’ariyah.  Kitabnya yang kita kenal Maqolatul Islamiyyin dst w. 234 H. Al-Asy’ari wafat diteruskan oleh muridnya  Abu Abdillah Al-Baghili. Al-Baghili wafat diteruskan oleh muridnya lagi Abu Bakar Al Baqillani (Kitabnya yang kita kenal Al-bayan dst..). Al Baqillani wafat diteruskan oleh muridnya lagi Abdul malik Imamul Haramain al-juwaidi (Kitabnya Al-arba’in dst..). Abdul malik Imamul Haraimain wafat diteruskan oleh muridnya lagi yang bernama Abu Muhammad Bin Muhammad Al ghazaly (Kitabnya yang kita kenal Ihya’ulummuddin dst…) Imam Ghozaly wafat diteruskan oleh muridnya lagi bernama Abdul Karim As-syehrestani. A.K. As-syehrestani wafat diteruskan oleh muridnya lagi yang bernama Muhammad Bin Umar Fahrur Rozi (KitabnyaTafsir  Mafatikhul Ghoib dst..) M.B.U.F rozi wafdat diteruskan oleh muridnya lagi yang namanya Abidin Al-inji. Al-inji wafat diteruskan oleh Abu Abdillah Muhammad As-sanusi (Kitabnya Al-aqidatul Qubra dst..) A.A.M.As-sanusi wafat diteruskan lagi oleh muridnya yang bernama Al-baijuri (Kitabnya jauhar tauhid dst.. yang diterjemahkan dalam bahasa ajawa  kiai sholeh darat semarang. Dikiai sholeh-lah kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan/muhamad Darwis berguru). Albaijuri wafat diteruskan lagi oleh Ad-dasuqi (Kitabnya ummul barohin dst…). Ad-dasuqi wafat dilanjutkan lagi oleh seorang muridnya bernama Ahmad Zaeni Dahlan (Mengajar di masjidil haram – kita bnya yang kita kenal syarah alfiyah, syarah imrithi dst..).  A. Z. Dahlan wafat diteruskan oleh muridnya lagi yang bernama Ahmad Khotib Sambas Kalimantan Barat (Kitabnya fatkhul arifin dst… yang mensejajarkan antara thoriqoh naqsabandriyah dan qodiriyyah). A.K.Sambas wafat dilanjutkankan lagi oleh Muhammad Nawawi Banten (Kitabnya syarah Safinah dst..). Imam Nawawi kapundut dilanjutkan lagi oleh Mbah Mahfudz Termas. Mbah Mahfudz Punya Murid KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Hasyim Asy’ari,  Setelah- dari Makkah- membangun pondok-menyadarkan orang orang-orang disekitar PONPES (waktu itu Tebu Ireng kemaksiatan terbesar di Asia) dll… tahun 1924 membuat Jam’iyyah Tashwirul Afkar, Sebuah forum diskusi yang membahas persoalan umat. Setelah para ulama bermusyawaroh cukup lama dan mendapat isyaroh dari KH. Kholil Bangkalan Madura (syaikul masyayih-guru kiai Hasim). Akhirnya diputuskan dan diganti nama menjadi Komite mermbuk hijaz, kemudian komite Hijaz tepat tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 nama itu diganti menjadi NAHDLATUL ULAMA’ (NU)- kebangkitan para Ulama’. Kh. Hasyim Asy’ari meninggal Dunia NU diteruskan oleh putranya yang luar biasa KH.WAHID HASYIM. Kiai Wahid Hasyim wafat NU diteruskan oleh putranya lagi yang diatas Luar biasa yang bernama ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR). Gus Dur menjadi presiden NU diteruskan oleh HAZIM MUZADI. Hasyim Muzadi menjabat selama 2 periode  sekarang digandikan OLEH BELIAU PROF. DR. KH. SAID AQIEL SIRADJ MA.
Dihari kelahiran NU INI MARI KITA HADIAHKAN FATIKHA UNTUK PARA PENDIRI NU YANG TELAH MENITIPKAN KEPADA KITA UNTUK MENJAGANYA DENGAN PENUH KECINTAAN DAN KEBANGGAN. Alfatikha…

Senin, 24 September 2012

Organ Reproduksi Pria dan Fungsinya


Testis
Testis adalah gonad jantan yang berbentuk berbentuk oval yang terletak dalam skrotum dan berjumlah sepasang, dibatasi oleh suatu sekat yang terdiri dari jaringan ikat dan otot polos. Fungsi testis secara umum merupakan alat untuk memproduksi sperma dan hormon kelamin jantan yaitu testosterone.

Epididimis
Merupakan saluran berkelok-kelok dalam skrotum yang keluar dari testis, berjumlah sepasang kiri dan kanan, berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara sperma sampai matang dan bergerak menuju van deferensi.

Van Deferensi
Disebut  juga saluran sperma, merupakan saluran lurus yang mengarah keatas dan merupakan lanjutan dari epididimis, tidak menempel pada testis dan ujung saluranya terdapat dalam kelenjar prostat. Fungsinya sebagai saluran sperma dari epididimis ke kantong semen (v. Seminalis)
Saluran ejakulasi

Merupakan saluran pendek yang menghubungkan kantong semen dengan uretra, Fungsinya mengeluarkan sperma ke uretra.

Uretra
Merupakan saluran akhir reproduksi yang terdapat dalam penis, berfungsi sebagai saluran kelamin dari kantong semen dan saluran untuk membuang urin dari kandung kemih.

Kelenjar asesoris
Selama sperma melalui saluran pengeluaran terjadi penambahan berbagai secret yang dihasilkan kelenjar asesoris ini berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup sperma.

Vesikula Seminalis
Disebut juga kantung semen, merupakan kelenjar yang berlekuk-lekuk terletak dibelakang kandung kemih. Dindingnya menghasilkan zat makanan bagi sperma.

Kelenjar Prostat
Kelenjar ini melingkari bagian atas uretra dibawah kandung kemih, menghasilkan secret untuk kelangsungan hidup sperma.

Kelenjar Cowper
Merupak kelanjar yang saluranya langsung ke uretra, menghasilkam getah yang bersifat Alkali (basa)

Penis
Mempunyai tiga rongga yang berisi jaringan spons, uretra pada penis dikelilingi jaringan erektil yang rongganya banyak mengandung pembuluh darah, bisa terjadi rangsangan pembuluh darah dimasuki darah dan penis memegang.

Skrotum
Merupakan kentong yang berisi testis berjumlah sepasang, ditengahnya dibatasi oleh jaringan ikat dan otot polos. Otot beerfungsi untuk menggerakkan skrotum sehingga dapat mengendor dan mengerut. Di skrotum juga terdapat otot kremaster yang dapat mengatur suhu lingkungan testis dan pembentukan sperma.

TOKOH – TOKOH FIQH DI INDONESIA


BAB 1
PENDAHULUAN

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Sejak periode awal sejarah perkembangan Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya diatur oleh hukum Islam. Hukum Islam mampu memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat karena ia terdiri dari dua bagian. Pertama, bagian yang bersumber pada nass qot'iy. Bagian ini berlaku universal, menjadi media pemersatu dan mempola arus utama aktivitas umat Islam sedunia. Kedua, bagian yang bersumber pada nass zanniy. Bagian ini merupakan wilayah ijtihad yang produk-produknya disebut fiqh. Bagian kedua inilah yang memungkinkan umat Islam di suatu kawasan tertentu menerapkan hukum Islam yang berbeda dengan di kawasan yang lain, sesuai dengan konteks kebutuhan dan permasalahan yang
dihadapi.
Dorongan keagamaan kaum muslimin yang demikian intens untuk membumikan norma dan nilai normatif Islam, menyebabkan kaum muslimin sejak masa-masa awal sampai kini berusaha keras menguasai berbagai disiplin ilmu, sehingga tidak jarang dijumpai ulama atau cendikiawan muslim yang menguasai disiplin ilmu lebih dari satu. Di antara tokoh yang memberikan  kontribusi berharga dalam perkembangan pemikiran hukum Islam sampai saat ini adalah  Mbah Ma’shum Lasem, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. A. Mustofa Bisri dan KH. Said Aqiel Siradj.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Mbah Ma’shum Lasem

a.       Biografi Singkat
Nama Asli yang diberikan oleh orang tuanya adalah Muhammadun. Beliau lahir, diperkirakan, pada tahun 1290 H dan 1870 M, di Lasem. Tahun kelahiran tersebut adalah tahun perkiraan, sebab tidak ada orang yang tahu pasti tahun berapa beliau dilahirkan. Sehingga, berdasarkan dari ketidakjelasan informasi mengenai tahun kelahiran beliau itu, maka ada inisiatif untuk melakukan pelacakan.
Pelacakan dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Mbah Ma’shum seputar peristiwa-peristiwa besar yang terjadi ditanah Jawa, baik peristiwa yang berkaitan dengan kejadian alam maupun sosial politik. Salah satu pertanyaanya adalah “ apakah Mbah Ma’shum tahu pendirian organisasi NU?”, dan hal itu dijawab oleh beliau bahwa beliau sangat tahu karena beliau juga ikut menyetujui pendirian organisasi itu. Setelah melalui beberapa pertanyaan, pelacakan berakhir kepada pertanyaan “ apakah Mbah Ma’shum mengetahui peristiwa meletusnya gunung Krakatau?”. Mbah Ma’shum menjawab bahwa beliau mengetahui peristiwa itu, dan saat itu beliau berusia “muda”. Beliau tidak menjelaskan usianya dengan angka, tetapi dengan istilah “muda”. Dalam bahasa Jawa, beliau mengatakan: “ Naliko udan awu, aku iseh joko cilik…” (Ketika terjadi hujan abu [akibat gunung Krakatau meletus], saya masih anak muda-kecil…)
Peristiwa meletusnya gunung Krakatau terjadi pada 27 Agustus 1883. Jika istilah joko cilik atau anak muda (kecil) bermakna seseorang yang berusia 15 tahun, maka Mbah Ma’shum lahir pada 1868. Atau, jika berusia 10 tahun, maka beliau lahir pada 1873 Masehi. Mungkin, usia beliau berada diantara 10-15 tahun saat peristiwa Krakatau terjadi, dan sudah cukup masuk akal.
Ayah Mbah Ma’shum bernama Ahmad, seseorang yang memiliki visi keagamaan tinggi. Sehari-hari,  beliau berprofesi sebagai orang yang bergerak dalam bidang perdagangan. Beliau adalah pedagang yang cukup kreatif. Selain statusnya yang pebisnis, bisa diyakini juga bahwa ayah mbah ma’shum itu merupakan seorang yang memiliki visi keagamaan yang cukup.
Berkaitan dengan nama ibu Mbah Ma’shum terjadi perbedaan pendapat. Pertama dikatakan bernama Qosimah dan yang kedua menyatakan Ruqoyyah. Akan tetapi, silsilah Mbah Ma’shum dari garis ibunya tidak dapat diketahui. Urutan silsilah Mbah Ma’shum dari jalur sang ayah adalah Muhammad Ma’shum bin Ahmad bin Abdul Karim bin Muzahid, hingga Sultan Mahmud, alias Sultan Minangkabau. Melalui garis ini pula bisa diketahui bahwa beliau masih keturunan Arab-Yaman, bermarga asy-Syaibani

b.      Pengembaraan Ilmiah
Sejak kecil hingga menginjak masa-masa dewasa, Mbah Ma’shum menimba banyak pengetahuan dari berbagai kiai, baik di Lasem maupun di luar Lasem, seperti Jepara, Kajen, Kudus, Sarang, Solo, Semarang, Jombang, Madura dan lainya, hingga ke Makah. Dari rumah kerumah, kampung ke kampung, sudah sewajarnya seorang pecinta ilmu akan selalu mengejar kemana ilmu itu berada. Demikian halnya dengan Mbah Ma’shum. Beliau belajar kepada banyak kiai.
Menurut Kiai Maimun Zubair, Mbah Ma’shum pernah mengaji kepada Kiai Nawawi (Jepara), Kiai Ridhwan (Semarang), Kiai Umar Harun (Sarang), Kiai Idris (Solo), Kiai Dimyati (Termas), serta kepada Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Dimyathi at-Turmusi di Termas lalu melanjutkan belajarnya ke Makah, dengan mengaji kepada Kiai Mahfudz at-Turmusi . Dalam buku manaqib Mbah Ma’shum menyebutkan bahwa Mbah Ma’shum pernah juga mengaji kepada Kiai Abdullah, kiai Abdus Salam dan Kiai Siroj (ketiganya dari Kajen, Pati), Kiai Ma’shum (Damaran, Kudus), serta Kiai Syarofuddin (Kudus). Semua gurunya itu ilmunya Mutabahhir.
Setelah kenyang menuntut ilmu, Mbah Ma’shum memasuki dunia baru, yakni berumah tangga. Beliau menikah, untuk kali pertama dengan seorang perempuan dari desa Sumber Girang, Lasem, Karena istrinya yang pertama itu wafat di Arab Saudi ketika haji bersama beliaunya. Pada usia 36 tahun, tepatnya tahun 1323 H/ 1906 M, beliau menikah lagi untuk kedua kalinya, yaitu dengan Mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim, bin Mbah Sambu. Dari pernikahan Mbah Ma’shum dengan Mbah Nuriyah Allah swt memberikan putra-putri yang berjumlah 13 orang, 8 diantaranya wafat ketika masih kecil. Anak yang pertama beliau  bernama Ali menikah dengan Hasyimah binti Munawwir, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, beliaulah yang melanjutkanya sebagai pengasuh setelah Kiai Munawwir wafat.
Untuk menghidupi keluarganya, Mbah Ma’shum mengikuti profesi orang tuanya sebagai pedagang. Perdagangan beliau tidak hanya di pasar Lasem saja, melainkan hingga ke pasar Ploso, Jombang. Selain berdagang seperti yang dituturkan oleh KH. Abdullah Faqih Langitan, untuk urusan duniawi beliau juga pernah bekerja di tempat pembakaran dan pembuatan batu bata putih. Dalam kehidupanya beliau adalah orang yang sangat sederhana. Tidak banyak keinginan duniawi yang hendak beliau raih. Sambil berdagang karena beliau memang berdarah intelektual-juga mengajar pengetahuan agama kepada orang-orang yang bertempat di Pasar Ploso Jombang. Salah satu peserta pengajianya KH. Bisri Syamsuri, Denanyar, Jombang, seorang muda yang di kemudian hari menjadi tokoh besar NU.

c.       Mendirikan Pesantren dan Mengurus Santri
Seperti yang disampaikan oleh beberapa sumber, Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW., dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti mengajar. Mimpi beliau bertemu dengan Kanjeng Nabi SAW. Itu terjadi beberapa kali. Dan hal tersebut berlangsung seolah terjadi dialog yang berkesinambunga, dalam rentang waktu yang panjang, antara beliau dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau mimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi SAW. Dan mendapatkan pesan-pesan khusus yang intinya untuk berhenti berdagang serta mendirikan pesantren dan mengajar.  
Dengan rasa terharu dengan nasihat yang ada pada mimpi itu serta masukan dari KH. Hasyim Asy’ari beliau sangat mantap dan yakin akhirnya Saat itulah beliau mendirikan bangunan pesantren yang cukup maju saat itu terbuat dari tembok, berukuran 20 x 7 meter. Bangunan tersebut, masih berdiri tegak hingga sekarang, terdiri dari 2 lantai; lantai pertama berfungsi sebagai musholla dan tempat pengajian, sedangkan lantai dua-yang terbuat dari kayu, difungsikan sebagai kamar para santri. Pondok pesantren tersebut diberi nama al-hidayat.
Mbah Ma’shum sangat disiplin dalam hal mendidik santrinya. Senang sekali melihat santri mengaji kitab ihya’ Ulumuddin. Kenyataan yang sama juga terjadi pada kitab Fathul Wahhab, yaitu Mbah Ma’shum telah menghatamkanya sebanyak usia beliau (banyak kitab lain yang juga dihatamkan selama usianya). Pernah suatu kali beliau dawuh bahwa Fiqh itu telah berada dalam dadanya. Jadi, kalau beliau mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Fiqh, beliau sudah merasa kesulitan untuk menyebutkan sumbernya karena terlalu banyak kitab Fiqh yang beliau baca.

d.      Peran Kebangsaan dan Nasionalisme
Aktivitas Mbah Ma’shum yang tekun dan konsisten (istiqomah) dalam bidang pendidikan umat membawa beliau ke dalam golongan atau jama’ah ulama-ulama agung. Di situ, beliau dapat disejajarkan dengan ulama-ulama yang berkaliber, baik dimata Negara maupun umat. Dari realitas ini, sangat pantas jika sejarah mencatat bahwa Mbah Ma’shum juga berperan dalam pendirian organisasi NU. Peran-peran tersebut, secara khusus, terjadi pada masa organisasi NU didirikan.
Sedangkan mengenai kepedulian Mbah Ma’shum untuk bengsa, maka hal tersebut telah sangat jelas. Hingga pemilu 1971, beliau masih tetap berangkat ke TPS untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Komitmen beliau untuk bangsa jelas tidak diragukan lagi. Sudah pantas jika Bung Karno ketika bertemu dengan beliau memerlukan diri untuk bersalaman dengan dua tangan-sebagai tanda penghormatan- sedangkan Mbah Ma’shum cukup dengan satu tangan.
Bahkan Mbah Ma’shum memberikan do’a restu, nasihat serta saran-saran kepada Prof. Dr. KH. Mukti Ali supaya mendapatkan kesuksesan selama menjalankan tugas Negara. Pesanya sebagai berikut:
1.      Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab, membenci NU sama dengan membenci padaku. Karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama yang lain. Tetapi, engkau pun jangan membenci Muhammadiyah. Jangan pula membenci PNI dan partai-partai yang lain. Sebagai seorang mentri Agama, engkau harus dapat berdiri ditengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka. Dan Negara harus kau junjung tinggi.
2.      Manakala datang seorang tamu meminta bantuanmu, uang umpamanya, jangan ditolak. Andaikata dikala itu secara kebetulan engkau tak beruang, keluarlah. Artinya, usahakan sampai dapat dan berhasil menolongnya. Ini tindakan dan perilaku Rasulullah SAW. Yang harus kau tiru dan kau ikuti.
Kisah itu melukiskan betapa beliau memiliki perhatian yang baik terhadap jabatan di pemerintahan, bahkan menyempatkan diri untuk memberikan do’a.  

e.       Kontekstualitas Pemikiran
Ditinjau dari satu prespektif tertentu, pemikiran Mbah Ma’shum tidak berbeda dengan pemikiran para kiai pada umumnya: sangat teguh memegang syari’at dan secara spesifik Fiqh Syafi’i. Beliau bisa saja mempraktikan fiqh Hanafi, misalnya, karena beliau juga menguasainya. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukan dan lebih tertarik untuk mengembangkan pemikiran fiqh Syafi’i. Hal itu terjadi pada kasus mahromiyyah, yang mana beliau sering  menikahkan seseorang dengan kerabatnya supaya menjadi mahrom dengan beliau. Gagasan ini muncul seiring kebiasaan bersalaman atau bertemunya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Memperhatikan hal ini, beliau tidak menggunakan fiqh Hanafi yang membolehkanya.
Dalam berdialog dengan fenomena-fenomena yang terjadi pada masyarakat pun beliau mempunyai pandangan yang realistis-dalam arti cukup konstekstual dalam menerjemahkan nilai-nilai keislaman ke dalam pergaulan masyarakat. Beliau misalnya, awalnya mengikuti fatwa para ulama yang mengharamkan penggunaan dasi. Sebagaimana kita ketahui, dalam pandangan ulama NU, hokum menggunkan dasi adalah haram jika penggunaan tersebut dimaksudkan untuk meniru kepada orang non muslim dan untuk menyemarakkan kekafiran apalagi provokasi dan selanjutnya beliau membolehkanya (tidak lagi menghukumi haram). Begitu juga dalam menghukumi mendengarkan radio dan pemakaian sepatu.
Pandangan ini mengacu kepada pemahaman atas universalitas hadist Nabi Muhammad SAW (Umumul-Hadits) dalam pelarangan terhadap peniruan atas orang non muslim. Sedangkan jika penggunaanya tidak dimaksudkan untuk hal pertama tersebut, maka penggunaan itu bukan merupakan kekafiran namun tetap berdosa. Sedangkan apabila penggunaanya sama sekali bukan merupakan peniruan, dan sekedar berpakaian demikian, maka hukumnya tidak dilarang melainkan makruh. Hal ini telah sesuai dengan keputusan Muktamar NU ke 2, di Surabaya, 12 Rabiuts Tsani 1346 H/ 9 Oktober 1927 M. Keputusan Muktamar tersebut juga diperkuat dengan keputusan Muktamar tersebut juga diperkuat dengan keputusan Muktamar ke 14 di Magelang, 14 Jumadil Ula 1358 H/ 1 Juli 1939 M, yang memberikan penjelasan dan penekanan seputar makna “penyerupaan” (at-tasyabbuh). Dalam konteks sekarang ini, hokum tersebut jelas tidak sesuai lagi dengan kondisi realitas. Ini dikarenakan manusia sekarang ini mengalami pergeseran kearah kehidupan global yang memiliki cirri universalitas tradisi dan budaya.
Barangkali juga, ada pertanyaan yang muncul dalam benak kita, kenapa Mbah Ma’shum- sepertinya-terlalu mudah untuk mengubah pandangan fiqhnya? Disini, kita bisa memahami bahwa Mbah Ma’shum selama itu menggunakan kaidah ushul al-fiqh yang menyatakan:
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْداً وَعَدَمًا
Bahwa hukum yang diputuskan senantiasa harus mengikuti alasan-alasan yang mendasarinya.
Dari situ bisa diketahui bahwa, jika alsan-alasan itu telah hilang, maka dengan sendiri hukum itu akan mengalami perubahan.

f.       Warisan Mbah Ma’shum
Sebagai seorang kiai, Mbah Ma’shum tidak meninggalkan sesuatu yang bersifat material. Beliau hanya meninggalkan pesantren dan berbagai pesan-pesan spiritual. Juga, sebagai kiai yang disegani, Mbah Ma’shum pun memilki kekeramatan diantaranya, ketika Mbah Baidhowi wafat, beliau merasa bahwa ajalnya telah dekat, dan beliau mengatakan “ saya akan meninggal dua tahun lagi seandainya hari ini penanda wafat”. Kurang lebih dua tahun setelah itu beliau benar-benar wafat.
Lain halnya dengan pengalaman Bapak Zulkifli semasa mendampingi Mbah Ma’shum berpergiaan tour silaturahmi di wilayah Jawa Tengah – Jawa Timur. Saat ada dikereta api dari Pekalongan menuju Tegal, Mbah Ma’shum kehilangan kacamata. Seketika Mbah Ma’shum mengajak para opengikutnya untuk membaca surat adh-Dhuha delapan kali, khusus ketika sampai bacaan fa-hada-yakni ayat Wa wajadaka dhollan fa hada- dibaca delapan kali.
.... وَوَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدَى،....
Saat itu Mbah Ma’shum dawuh: ... “dengan membaca ayat itu, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Mungkin barang itu bukan asli (milik kita yang hilang), tetapi setidaknya Allah akan  memberikan ganti yang sesuai.
Perjalanan dilanjutkan ke Majenang. Cilacap, lalu belok kearah timur menuju kebumen, dan berkunjung ke rumah Kiai Fathurrahman ( Wonoyoso, Kebumen kota). Ketika sampai dirumah Kiai Fathurrahman itu, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata yang ada di lemari kaca milik tuan rumah. Kaca mata itu persis seperti milik beliau yang hilang dalam perjalanan. Secara spontan, Mbah Ma’shum berseru Alhamdulillah, dan berkata kepada Kiai Fathurrahman, apa ini kacamata saya? Kiai Fathurrahman menjawab, “ ya mungkin saja, Mbah..” Lalu, dipakailah kacamata itu oleh Mbah Ma’shum. Dan lain sebagainya.
Pesan-pesan atau ijazah dari beliau, sebenarnya, tidak saja dikhususkan kepada santri-santri saja, melainkan untuk umat juga. Dan pula, apa yang beliau ijazah-kan tidak harus disampaikan secara formal, akan tetapi bisa juga-dan sering- disampaikan secara informal. Misalnya ketika suatu kali Mbah Ma’shum menyuruh santri bernama zulkifli untuk mengecek persediaan beras di al-hidayat. Beras sudah habis, dan habisnya beras itu disusul dengan terjadinya musim kemarau dilasem. Mbah Ma’shum menyuruh zulkifli untuk memanggil cucu-cunya, diajak istighosah Mbah Ma’shum memimpinya dan membaca potongan syair al-Burdah:
ياَ أَكْرَمَ اْلخَلْقِ ماَ لِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ # سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الحاَدِثِ الْعَمَمِ
Syair al-Burdah tersebut dan dibacanya sebanyak (lebih kurang) 80 kali, dilanjutkan dengan berdo’a “ Ya Allah Gusti, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak , akan tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu, kami memohon rezeki darimu...” Beberapa hari kemudian, datanglah beberapa orang memberikan beras-dalam jumlah yang besar-baik dari pemalang, pasuruan, dan lain sebagainya. Menurut Bapak Zulkifli, wirid istighosah itu jika diamalkan sangat manjur, Bi-masyiatillah.

2.      KH. MA. Sahal Mahfudh

a.       Biogafi singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh Bin Abd Salam Al HAjaini, lahir di kajen margoyoso kabupaten pati pada tanggal 17 desember 1937. Sejak kecil sampai sekarang, kiai Sahal tidak lepas dari pesantren, hidupnya memang di pesantren, besar di pesantren dan berkembang sampaisaat ini di pesantren. Ibunya bernama Hj.Badi’ah (wafat 1945) dan ayahnya bernama kiai Mahfud Bin Abd Salam Al-hafidz (w. 1944). Dari ayah maupun ibu, Kiai Sahal berada di lingkungan Kiai yang mendalam tradisi khazanah klasiknya (kitab kuning) , mengedepankan harmoni sosial dan sopan santun (tawadlu’), serta jauh dari kesan menonjolkan diri.
Kiai mahfudh terkenal orang yang wira’I dan zuhud dengan pengetahuan agama yang sangat mendalam, ilmu ushulnya luar biasa. Beliau juga hafidzul qur’an. Beliau meninggal dipenjara ambarawa 1944 pada saat melawan tentara jepang. Pasca kejadian ini  yang mengasuh kiai sahal berpindah-pindah. Pernah diasuh kiai Nawawi yang terkenal keramat
Pendidikan formal kiai sahal dimulai sejak usia 6 tahun(1943) diperguruan Islam Matholi’ul Falah madrasah pimpinan bapaknya sendiri sampai tingkat tsanawiyah tahun 1953. Setelah beberapa waktu di rumah kiai sahal akhirnya melanjutkan kepesantren bendo Kediri sebagai tempat mengajinya, sebuah pesantren yang diasuh oleh kiai muhajir. Dibendo ini kiai sahal memperdalam keilmuan ilmu tasawuf dan fiqh. Setiap ada waktu kosong dimanfaatkan untuk musyawarah dengan temannya. Kalau sedang libur pada hari selasa dan jum’at, tanpa sepengetahuan teman-temannya dipondok, kiai sahal memanfaatkan waktu untuk kursus dipare, seperti kursus ilmu administrasi, politik, bahasa arab, dll. Untuk menunjang hal ini kiai sahal juga langganan majalah, bahkan sejak kelas 3 tsanawi kiai sahal terbiasa mengkonsumsi majalah sebagai penyemangat hidupnya dimasa depan. Sahal punya anggapan, bahwa informasi sangat penting bagi eksistensi manusia di dunia ini, karena dengan informasi itu ia bisa bersikap, menyampaikan ide dan gagasan, dan memprediksi masa depan.
Kiai sahal dalam belajar selalu mempunyai target, oleh sebab itu beliau brusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya. Setiap malam selalu mutholaah secara disiplin, kekuatan mutholaah kiai sahal diatas rata-rata. Beliau saat belajar mulai ba’da isya’ sampai jam 10 dengan jongkok. Beliapun pernah membaca kitab minhaj yang jumlahnya  11 juz sampai khatam, itupun hasil pinjaman. Setelah 4 tahun di bendo (mulai 1945-1957) selanjutnya ia mengembangkan lagi ilmunya ke pondok pesantren al anwar sarang rembang, dengan kiainya yang sangat alim, kiai Zubair.
Dipondok al anwar ini kiai sahal membatasi jadwal ngajinya. Ia lebih banyak belajar sendiri disamping tugasnya sebagai ustadz. Pada tahun 1960 kiai sahal boyong dari sarang ke kampong halamannya. Setelah beberapa lama dirumah kiai sahal akhirnya pergi ke Makkatul mukarromah untuk menunaikan haji. Kesempatan ini digunakan untuk berguru kepada syekh Yasin Bin Isa Al Fadani, ulama mekah yang sangat popular, dikenal sebagai ahli hadits 

b.      Filosofi fiqh sosial kiai Sahal
Landasan pemikiran filosofinya yang dijadikan pijakan, antara lain:
1)      Difinisi syari’ah / din, agama. Kiai sahal selalu menekankan kajian mendalam tentang pengertian din yaitu :
وَضْعُ اِلَهِيٌّ سَائِقٌ لَذَوِيْ الْعُقُوْلِ بِاخْتِيَا رِهِمِ الْمَحْمُوْدِ أِلَى مَايُصْلِحُ مَعَاشَهُمْ وَمَعَادَهُمْ
“Ketentuan Ketuhanan yang mendorong orang yang berakal sehat untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dari definisi ini Kiai Sahal menyimpulkan, bahwa syari’at/agama tidak hanya berkutat dalam masalah hubungan hablum minallah tapi juga mengembang dalam wilayah hablum minannas.
2)      Definisi fiqh. Selain definisi agama, Kiai Sahal selalu menjelaskan secara detail definisi fiqh untuk dijadikan ‘entry point gagasan fiqh sosialnya. Definisi fiqh adalah:
عِلْمٌ باِلأَحْكأَمِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهاَ التَّفْصِلِيَّةِ
Fiqh adalah ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Definisi ini mengandung tiga subsansi dasar yang sangat krusial. Pertama, ilmu fiqh adalah ilmu yang paling dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua ilmu Fiqh  sangat  rasional, mengingat bahwa ia ilmu ikhtisabi. Ketiga fiqh adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi , real action, atau biasa dikatakan amaliyah, bersifat praktis sehari-hari.
3)      Aplikasi qawa’id ushuliyyah dan fiqhiyyah. Kaidah fiqhiyyah yang sering dipakai Kiai Sahal adalah:

تَصَرُّفُ الْأِماَمِ عَلَى الرَّعِيَتِهِ مَنُوطٌ باِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus sesuai dengan kemaslahatan/kesejahteraan rakyatnya
اَلْمُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ
“Sesuatu yang multi fungsi dan multi effect lebih utama dari sesuatu yang manfaatnya terbatas”
اَلدَّفْعُ أَوْلَى مِنَ الرَّفْعِ
“Mencegah lebih utama daripada menghilangkan”
التَّأْسِيْسُ أَوْلىَ مِنَ التَّأْكيْدِ
“Merintis itu lebih utama daripada menguatkan”
اِعْماَلُ الْكَلَامِ أَوْلىَ مِنْ اِهْماَلِهِ
“Memfungsikan perkataan lebih utama dari membiarkanya”
ماَلاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ جُلُّهُ
“Sesuatu yang tidak didapatkan semuanya, tidak boleh tinggal yang paling utama/semuanya”
دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Menolak kerusakan didahulukan dari mendatangkan kemaslahatan
الضَّرُوْراَتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan terpaksa/terjepit membolehkan sesuatu yang dilarang”
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُماَ ضَرَرًاباِرْتِكاَبِ اَخَفَّهِماَ
“Apabila dua kerusakan bertentangan, maka dijaga bahaya yang paling besar dengan memilih bahaya yang paling sedikit”. Dan lain sebagainya.
4)      Pengembangan teori masalikul illah. Secara metodologis hal ini bisa dilakukan dengan memasukkan hikmah hukum kepada illat hukum.
5)       Maslahah ammah
6)      Tradisi Masyarakat (‘adah ijtima’iyyah)
7)      Ijtihad jama’i
3.      KH. A. Mustofa Bisri

a.       Riwayat Hidup dan Pendidikanya
Nama lengkapnya Achmad Mustofa Bisri dilahirkan di Rembang pada 10 Agustus 1944. Gus Mus (panggilan populernya) memperdalam ilmu di Pesantren Lirboyo Kediri dibawah asuhan KH. Marzuki dan KH. Machrus Ali. Gus Mus juga suntuk di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta dibawah asuhan KH. Ali maksum dan KH. Abdul Qodir. Puncaknya belajar di Universitas Al Azhar, Kairo. Di Al Azhar itulah, untuk pertama kali Gus Mus bertemu dan berkenalan dengan Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia. Seperti pengakuannya sendiri, mereka kemudian tinggal di satu kamar. Gus Dur banyak membantu Gus Mus selama di perguruan tinggi tersebut. Bahkan sampai memperoleh beasiswa.

b.      Aktifitas dan Perjuangan KH. Mustofa Bisri
Gus Mus adalah seorang kiai yang wawasannya luas dan serba bisa. Ia menguasai ilmu agama (khususnya Islam) dengan baik, sekaligus mampu menjelajah berbagai khazanah ilmu di luar lingkar agama (Islam) formal. Gus Mus bukan hanya dikenal dan mempunyai kolega di habitatnya, yaitu kalangan agamawan, pesantren, dan ulama, melainkan juga mempunyai jejaring yang luas di kalangan seniman, budayawan, dan masyarakat lainnya. Spektrum pergaulan Gus Mus sedemikian luas dan beragam.
Di Indonesia jarang ditemukan kiai serba bisa seperti  halnya Gus Mus, apalagi jika dibatasi lagi dalam konteks kiai Nahdlatul Ulama (NU). Dalam jagat pesantren dan NU, Gus Mus adalah sosok kiai yang "nyentrik" karena bukan hanya concern terhadap wacana agama an sich, melainkan juga punya apresiasi yang luas terhadap sastra, seni, dan budaya. Ketika masih terdapat kiai dan pesantren yang menganggap asing, tabu, bahkan haram terhadap seni, Gus Mus justru telah lama melampauinya.
Sebagai seorang intelektual dan cendekiawan, beliau termasuk produktif melansir pemikiran dan menerbitkan buku. Sesuai dengan basisnya sebagai seorang kiai, pemikiran-pemikiran Gus Mus kental dengan nuansa agama dan religi, khususnya yang berangkat dari khazanah Islam. Salah satu ungkapannya yang terkenal adalah "kesalehan ritual" dan "kesalehan sosial" untuk menunjuk posisi ideal seorang yang beragama.
Diantara karya-karya Gus Mus yangsangat monumental adalah : 1) Ensiklopedi Ijmak (Terjemahan bersama KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta), 2) Maha Kiai Hasyim Asy’ari (Terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Jogjakarta); 3) Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, Cet. I Al-Huda, Temanggung; Cet. II 2007, MataAir Publishing); 4) Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung), 5) Fiqh Keseharian Gus Mus (Cet. I Juni 1997 Yayasan Al-Ibriz bejerhasana dengan Penerbit Al-Miftah} Surabaya; Cet. II April 2005, Cet. III Januari 2006, Khalista, Surabaya bekerjasama dengan Komunitas Mata Air), 6) Canda nabi & Tawa Sufi (Cet. I Juli 2002, cet. II November 2002, Penerbit Hikmah, Bandung), 7) Syi'iran Asmaul Husnaa (Cet. II MataAir Publishing, 2007,Surabaya) dan masih banyak lagi yang lain.

c.       Kerangka Metodologis Pemikiran Hukum Islam KH. Mustofa

1)     Beristidlal dengan Nass al-Qur'an dan al-Haditsh

KH. Mustofa Bisri dalam menjawab persoalanpersoalan hukum yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu mendasarkan kepada nass al-Qur'an dan atau al-Hadith di dalam menetapkan hukumnya.
Demikian juga ketika beliau, ditanya tetentang hukum menghajikan orang tua yang sudah meninggal, beristidlal dengan beberapa Hadith diantaranya :
ياَرَسُوْلُ اللَّهِ اِنَّ فَرِيْضَةٌ اللَّهِ عَلىَ عِباَدِهِ فىِ الْحَجَّ أَدَرْكَتْ أَبِي شَيْحًا كَبِيْرًا لاَيَثْبُتُ عَلىَ الرَّحِلَةِ أَفاَحَجُّ عَنْهُ قاَلَ: نَعَمْ. وَ ذَلِكَ فِى حَجَّةِ الْوَداَعِ (متفق عليه)
Ya Rasulullah, ketetapan Allah tentang wajibnya haji atas hamba-hamba-Nya, bertepatan saat ayahku sudah sangat tua; tidak bisa lagi menunggang kendaran, apakah aku boleh menghajikan untuknya? “Rasulullah SAW menjawab: “Na’am!” (Ya), peristiwa terjadi ketika haji wada’”. (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas)

2)     Mempertimbangkan Maslahah
KH. Mustofa Bisri dalam menjawab persoalan hukum Islam selalu mempertimbangkan maslahah. Menurutnya dalam bidang ibadah, harus berpegang pada al-Qur'an dan Hadith. Tidak akan sah ibadah mahdah seseorang, bila hanya berpegang pada kaidah-kaidah al-Masalih  al-Mursalah. Juga tidak sah bila hanya berpedoman pada qiyas, karena maksud utama beribadah pada Allah ialah hanya untuk mencari ridha- Nya. Dengan demikian, ibadah itu adalah semata-mata merupakan hak prerogatif Allah sendiri, bukan orang lain.
Adapun dalam bidang muamalah atau masalah-masalah yang menyangkut fardhu kifayah, dalam hubungan kehidupan untuk mensejahterakan sosial, prinsipnya adalah memelihara kemaslahatan duniawi. yang dapat dipikirkan oleh akal sehat. Karena itu ulama sepakat bahwa dalam urusan muamalat dan adat ('urf) kita perlu memperhatikan illat (latar belakang munculnya hukum), yaitu hukum yang memperbolehkan atau melarang berbuat sesuatu, seperti dalam bidang ekonomi berupa upaya mencegah sekaligus menekan sedini mungkin angka kemiskinan, meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja. Di bidang sosial; menegakkan kontrol sosial, menekan angka kesenjangan sosial dan lain lain, jadi dalam bidang muamalah pertimbangan adanya maslahah atau mafsadat, manfaat atau madharat sangat menentukan hukum suatu perbuatan.
3)     Menggunakan Kaidah Fiqhiyyah
Diantara kaidah fiqhiyyah yang digunakan KH. Mustofa Bisri dalam Buku Fiqih Kesehariannya adalah :
اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظوْراَتْ
“ Keadaan darurat bisa menyebabkan diperbolehkanya larangan”
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسيرْ
“Kesukaran itu bisa menarik Kemudahan”
Kaidah-kaidah tersebut digunakan oleh KH. Mustofa Bisri, ketika menjelaskan  tentang wudhu bagi penderita beser, setelah beliau beristidlal kepada firman Allah

'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS 2, Al-Baqarah: 286)

'Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. “(QS 6, al-An'a>m: 152)

Untuk mempertegas jawaban bahwa orang beser yang terus-terusan kencing, dan bahkan sering mengeluarkan air seni tanpa bisa ditahan, sangatlah repot dan memberatkan, sehingga dapat dikatakan keadaan yang berat tadi membawa kemudahan, dia kemudian menetapkan kemudahan yang diakibatkan adanya kesulitan dengan kaidah :
اَلْمَشَقَّةُ تَجلِبُ التَّيْسِيْر
“Kesukaran itu bisa menarik kemudahan”.

4)     Memperhatikan Tradisi Masyarakat (‘Adah Ijtima’iyah)
Sebagaimana kaidah yang populer اَلْعاَدةْ مُحكمة , tradisi yang berkembang pada suatu masyarakat dijadikan sebagai sumber hukum. Kaidah ini dalam praktisnya mengakui budaya lokal dan memberikan sentuhan keagamaan pada tradisi tersebut, jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam satu ritual budaya, di situ ada nilai lokalitas budaya dan universalitas ajaran Islam yang sudah bersinergi dan terinternalisasi dalam budaya tersebut.

5)     Pola Pikir Konstekstual, Praktis dan Tidak Kaku
Pola pikir kontekstual dalam memahami maksud shara' (maqasid as-shari'ah) mempunyai kandungan yang amat luas. Mujtahid bisa melakukan pendekatan apa saja dalam memahami shara', asal misinya tetap, yaitu kemaslahatan umum. Ia mengaitkannya dengan latar belakang kondisi sosial dimana atau kapan wahyu (teks) turun, mengaitkannya dengan latar belakang kondisi sosial, politik, adat istiadat dimana ia tinggal, mengaitkannya dengan masalah-masalah global dan kontemporer, dan kaitan-kaitan lainnya adalah termasuk dalam cakupan kontekstual.  Di dalam memahami maksud nass adalah mencari makna di seberang teks, selagi hasil yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks tersebut, kecuali teks tersebut bersifat mutlak.

6)     Banyak Menggunakan Pola Madhhab  Qawliy dari pada Pola Madhhab Manhajiy
Sebagaimana umumnya ulama NU (Nahdlatul Ulama) bahwa terhadap al-masail al-fiqhiyyah al-waqi’iyyah KH. Mustofa Bisri menggunakan pendekatan pola madhhab qawliy. Hal ini digunakan apabila masalah tersebut memiliki tingkat urgensi yang tinggi bagi masyarakat dan perlu dengan cepat memperoleh jawaban. Oleh sebab itu, dengan mengacu pada tekstualitas kitab madhhab dapat segera diperoleh jawabannya.
Ketika KH. Mustofa Bisri ditanya tentang hukum wudu bagi suami isteri yang bersentuhan, apakah dapat membatalkan wudunya ?. Beliau menjelaskan bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah yaitu masalah-masalah di mana kalangan ahli fikih sendiri berbeda pendapat sejak dulu.
Ulama fikih berbeda pendapat tentang “senggolan suami-isteri” atau lelaki-wanita pada umumnya. Ada yang mengatakan membatalkan wudu, dan ada juga yang mengatakan tidak membatalkan wudu. Adapun sebab perbedaan secara garis besar adalah perbedaan tafsiran terhadap firman Allah: "Lamastum an-Nisa " dalam “ firman Allah QS 4, An-Nisa':
Pada ayat tersebut, menurut pandangan KH. Mustofa Bisri ada yang mengartikannya dengan pengertian aslinya, yaitu: “menyentuh wanita atau istri”, ada yang mengartikan dengan pengertian kiasan (majazy): “menyenggamai wanita/istri”.
Menurut Hanbali, membatalkan jika bersentuhan langsung dan dengan syahwat. Maliki: bagi lelaki yang menyentuh, batal wudunya apabila sudah baligh dan menyentuh langsung wanita dengan maksud “menikmati” atau merasa “nikmat”. Sedang menurut Hanafi: tidak membatalkan wudu, meskipun misalnya, suami-istri telanjang dan menempel.
Sedangkan pola madhhab manhajiy, biasanya digunakan KH. Mustofa Bisri untuk merespon al-masail alfiqhiyyah al-maudu’iyyah. Hal ini digunakan apabila masalah yang akan dibahas tidak menghendaki jawaban secara cepat, dan tingkat tuntutan kebutuhan bagi masyarakat lebih leluasa dibandingkan al-masail al-fiqhiyyah al-waqi’iyyah. Al-masail al-fiqhiyyah al-maudu’iyyah memerlukan pembahasan yang lebih serius dan memerlukan konsep yang matang berkenaan dengan metodologi hukumnya.
Dari uraian temuan-temuan di atas dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada beliau maka di sini perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1.      Kapasitas sebagai pemberi fatwa dalam berbagai pendapatnya dapat digolongkan sebagai ulama yangberpegang pada kaidah

اَلْمُحَافَضَةُ عَلىَ الْقَدِيْمِ الصَّا لِحْ وَاْلاَحْدُ بِا الْجَدِيْدِ اْلأَصْلَحْ
Memelihara produk pemikiran klasik yang masih relevan dan mengambil produk pemikiran beru yang lebih relevan

Namun demikian pendapat-pendapat beliau yang terangkum dalam "Fiqh Keseharian Gus Mus" terutama dalam bidang muamalah menurut hemat penulis bisa saja mengandung kesalahan atau keliru, hal ini karena menyangkut karakteristik fiqh muamalah yang bersifat ijtihadiyyah (yang bisa saja benar dan bisa saja salah); kebenarannya bersifat relatif dan bersifat ta'aqquli.
2.      Dalam Fiqih Keseharian Gus Mus, menurut pengamatankami sangat sedikit penggunaan kaidah-kaidah usuliyah maupun kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai pendukung ketika beliau memberikan fatwanya. Dalam kaitan ini Hasbi ash- Shiddiqi menyatakan bahwa nilai seorang faqih (ahli hukum Islam) diukur dalam dan dangkalnya penggunaan kaidahkaidah fiqhiyyah, karena di dalam kaidah-kaidah fiqhiyyah terkandung rahasia dan hikmah fiqh.73 Dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqhiyyah akan lebih mudah dalam menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan memasukkan masalah tadi dan atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fiqh yang ada
3.      Pada dasarnya kumpulan fatwa KH. Mustofa Bisri yang terangkum dalam Fiqih Keseharian Gus Mus cukup memadai untuk khalayak umum. Akan tetapi untuk kalangan setingkat perguruan tinggi masih diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan di sana-sini karena masih ada beberapa bahasan yang dirasa ada yang tidak konsisten, misalnya pendapat beliau yang merujuk pendapat imam madhhab. Namun demikian beliau tidak mencantumkan referensinya.

d.      Kontribusi KH. A. Mustofa Bisri Terhadap Pengembangan Hukum Islam
Dewasa ini perkembangan pemikiran hukum Islam telah menjadi daya tarik dan menjadi unsur penting dalam pembentukan masyarakat yang beradab. Persoalan-persoalan hukum Islam yang baru di sekitar masyarakat terus bermunculan. Sementara rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi politik dan kebudayaan sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Demikian juga jika hanya berlandaskan pada rumusan teks, maka persoalannya adalah bagaimana jika ada hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih ? apakah harus mauquf (tidak terjawab ?), padahal me-mauquf-kan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh menurut hukum sebagian ulama (fuqaha). Di sinilah perlu "fatwa baru" yang mengakomodasi permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Di sinilah peran penting ulama Fiqih dalam menjawab segala problem sosial termasuk menjawab atas pertanyaan-pertanyaan hukum Islam yang diajukan kepadanya.
Hal inilah yang telah dilakukan KH. Mustofa Bisri. Dalam konteks ini apa yang telah dilakukan KH. Mustofa Bisri dalam menjawab persoalan-persoalan hukum Islam yang diajukan kepadanya sebenarnya mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang mufti. Kontribusi penting yang diberikan KH. Mustofa Bisri adalah sikapnya dalam berfatwa yang tidak terikat oleh suatu madhhab tertentu. Sikap ini menjadi penting di tengah digalakkannya pengembangan pemikiran hukum Islam yang mensharatkan adanya kebebasan berpikir dan tidak terikat pada suatu madhhab tertentu. Tentu saja kebebasan berpikir versi KH. Mustofa Bisri adalah kebebasan yang terukur dan terbingkai dalam maqasid as-shari'ah yang menjadi tujuan diturunkannya shari'ah Islam
Apa yang dilakukan KH. Mustofa Bisri sebenarnya dalam rangka untuk mengawal hukum Islam agar tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan. Dalam konteks ini beliau menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif-tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Kiranya apa yang ]dilakukan KH. Mustofa Bisri secara tidak langsung beliau telah merespon pernyataan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid sebagai berikut :
اِنَّ الْوَقَائِعُ بَيْنَ اَشْحَاَصِ الاِنْسَا ن غَيْرُ منُّتَنَا هِيَةٍ والنُّصُوْصُ وَاْلاَقْوَلُ وَاْلاَقْرَرُ مُتَناَهِيَةٌ وَمُحَالٌ اَنْ يُقاَبِلُ ماَلاَ تَتَناَهىِ بِمَا تَتَناَهِي
Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nass (baik al-Qur'an maupun al- Hadith) jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.

4.      Prof. DR. Said Aqiel Siradj, MA
{ Sutu ketika ia mendapat telpon dari polda metro jaya.Ia diminta dating ke polda untk berdialog tentang agama dengan Ahmad Musaddeq yang mengaku sebagai seorang nabi.Prmintaan itu langsuntg diiyakan.
  Di damping Agus miftah (ahli jaringan yahudi),Dr Bachktiar ali (pakar komunikasi),serta wakil dari MUI,Kejaksaan Agung dan dari Kepolisian,Kang said berdialog bebas dengan musaddeq.sementara yang lain melihat proses jalanya dialog.sampai mereka akhirnya menjadi saksi atas kehebatan tokoh asal Cirebon itu.
Mula-mula musaddeq dipersilakan untuk menjelaskan asal-usul diri dan perjalanan sepiritualnya hingga bias memproklamirkan diri menjadi seorang nabi.Musaddeq menceritakan secara runtuk perjalanan spritualnya,termasuk adanya bisikan di Arofah yang mengangkat dirinya sebagai nabi.Tak lupa ia membacakan ayat-ayat Al Qur’an untuk memperkua, t kemungkinan masih adanya nabi terakhir,yang lain adalah dirinya.
Ia juga menjelaskan alas an ajaran yang dibawanya tentang sholat yang tidak harus dilakukan lima kali sehari,tapi cukup satu kali ditengah malam,lalu dilanjutkan dengan merenung.juga puasa sebulan Ramadhan yang bias diganti dengan puasa senin-kamis.
Ketika kang said diberikan kesempatan bicara,ia menanggapi perjalanan spiritual musaddeq itu dari sisi tasawwuf dan tauhid.Termasuk adanya tingkatan wahm (halusinasi),khayal (imajinasi),ilmu yaqin ,ainul yaqin, haqqul yaqin ,wahyu ,dlsb.Aneh.Musaddeq yang mengaku seorang nabi malah tidak nyambung dengan bahasa itu.Ia tampak terkagum-kagum dengan ulasan kang said”baru kali ini saya mendapatkan penjelasan seperti ini,”musaddeq mengakui kedalaman ilmu  lawan bicaranya.Setelah berlangsung dialog bebas selama 3 jam,tampaknya secercah hidayah telah membuka hati  musaddeq.Ia meminta waktu 3 hari untuk merenungkan kembali langkah yang telah diyakininya dan telah mendapatkan puluhan ribu pengikut itu.Sampai akhirnya setelah waktunya tiba,ia menyatakan taubat dan kembali kejalan yang benar.”Alhamdulillah ,Do’a saya diterima untuk bertemu ulama,tempat saya bermudzakarrah (diskusi).Sekarang saya sadar kalu langkah saya selama ini salah,”aku musaddeq.Di sisi lain kang said juga mengakui kehebata Musaddeq.”Dia memang hebat.Paham dengan Asbabun Nuzul Al Qur’an dan Asbabul Wurud Al Hadits.Hanya ada sedikit saja yang kurang pas ,dia mengaku nabi,itu sajja,”jelas kang Said}
a.       Riwayat Hidup dan Pendidikan
Lahir di Cirebon 3 juli 1953 ,Ayahnya KH.Agil Sirodj pengasuh pondok pesantern Kempek,Cirebon.Sedangkan kakeknya ,KH Sirodj bin Sai’d pengasuh pondok gedongan sindanglaut ,Cirebon Timur.Sai’d Aqil termasuk golongan darah biru kiai dan Bangsawan.Ayahnya masih saudara misan dengan KH Mahrus Aly Lirboyo ,Kediri.Keduanya merupakan keturunan Sunan Gunung Jati.
Sedangkan Ibunya Ny Hj Afifah Harun,masih dengan sepupuh KH Idris Kamali,salah seorang menantu Hadrartus Syeikh KH Hasyim Asy’ari .yang juga pengasuh pondok pesantern Tebuireng Jombang.
Pendidikan : Menamatkan pendidikan dasar  di kampong halaman dengan masuk SR Gempol ,merangkap pesantern Tarbiyyatul Mubatadiin di pondok Kempek ,Cirebon.Pindah ke pondok pesanren Lirboyo Kediri Asuha KH Mahkrus Aly,sambil melanjutkan ke madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo (1968 -1970 ).Saat berngat ke Lirboyo ia sudah menghatamkan kitab Alfiyah dikampung halaman.Tidak heran kalau selama di Lirboyo ia di kenal mahir ilmu Alat.Bahkan salah satu yang terbaik pada masa itu.
Pindah ke Pesantern Al Munawwir Krapyak,Jogjakarta .Asuhan  KH Ali Ma’sum (1972-1975), Sambil kuliah di fakultas Adab IAIN Sunan Kali Jaga Jogjakarta.   Namun tidak sampai tamat,karena ia ogah-ogahan masuk kampus.Karena hamper semua mata kuliah yang ada dinilai telah mengulang semasa di pesantern,membuat semangat kuliahnya kendur.
Pada 28 Desember 1979 Ia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Syari’ah King Abdul Azis Cabang Mekkah,lulus tahun 1982 dengan predika caumlaude  .Masuk PPS Universitas Ummul Qura’ Fakultas Usuluddin ,lulus 1987 dengan predikat jayyid jiddan (sangat memuaskan).Melanjutkan ke program doctor di kampus yang  sama mengambil jurusal Ushuluddin ,lulus 1994 dengan predika Caumlaude.
Di sinilah terlihat betapa cerdasnya seorang sai’d Aqil  .Hingga saat ini baru hanya dua orang di Indonesia yang berhasil memperoleh predikat Caumlaude  program doctor di Ummul Qura’.Seorang lainya bernama  Satria Effendi yang saat ini  sudah meninggal  dunia.
Selam 13 tahun menetap di Saudi Arabia ,ia telah dua kali meraih predikat Caumlaude semasa S1 di Universitas King Abdul Azis dan S3 di Ummul Qura’.sekali meraih peringkat Jayyid jiddan semasa menempuh pendidikan S2 di Ummul Qura’.
b.      Pengabdian di NU
Semasa kuliah di IAIN jogja ia  menjadi sekretaris PMII Rayon Krapyak(1972-1974 ).Ketika kuliah di Saudi Arabia,ia  menjadi ketia Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Makkah (1983-1987 ).Sepulang dari tanah suci langsung menjadi Wakil Katib Syuriah PBNU hasil muktamar  Cipasung (1994-1998).Tak lama kemudian naik menjadi Katib Am PBNU (1998-1999).
Hasil Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri menempatkan dirinya menjadi seorang Rois Syuriah PBNU mendampingi KH MA Sahal Mahfudh (1999-2004).Dan setelah muktamar ke-31 di Donohudan,Solo.namanya menjadi seorang ketua PBNU mendampingi KH A Hasyim Muzadi  (2004-sekarang ).
Berbagai posisi penting telah dipercayakan padanya di dalam maupun luar NU.Diantaranya Wakil Ketua Tim Lima bentukan PBNU yang bertugas menyusun AD/ART PKB menjelang partai itu di dirikan (1998 ),anggota Komnas HAM ,Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Pembantaian Dukun  Santet Banyuwangi (1998 ),Wakil Ketua TGPF Kerusuhan Mei (1998),Ketua Panitia Muktamar ke-30(1999),Ketua Panitia Munas NU di  Surabaya (2006 ),dlsb.
Di saat PBNU menggelar ICIS I (2004) dan ICIS II (2006 ) di Jakarta ,ia bertindak sebagai juru bicara PBNU mewakili Ulama Indonesia .Sedangkan di jajaran PBNU ia di percaya membidangi Wilayah kerja Zona Timur Tengah.
c.       Pengabdian Lain
Dikenal sebagai seorang pendidik dan narasumber seminar yang berbobot.Pemikiranya cemerlang dan lintas batas.Ia juga bergaul dengan banyak komunitas luar NU dan Islam.Karena pergaulanya  yang  luas dan pemikiranya yang  sedikit beda itu,seringkali memunculkan sikap controversial di tengah masyarakat.
Ia juga seringkali  menjadi narasumber seminar di tengah umat lain.Semisal sarasehan Paroki Santa Anna (1998),Bamus Antar  Gereja (1997 dan 1998 ),Vihara Darma Mitra (1998),konferensi GKD ,GKRI ,YMPI ,JRC ,APOSTOLOS ,KOS ,YMBI ,CLR (1999),Uki Atmajaya (1999).Bahkan pernah berkhutbah ditengah umat Kristiani di gereja Aloysius Gonzaga (Algonz ) Surabaya (1998) ,Sebuah perjalanan tokoh islam yang belum pernah dilakukan orang lain sebelumnya.
Karena pemikiranya yang lintas batas itu ,ia juga sering menjadi narasumber  seminar yang bertopik Agama maupun Kebangsaan.Diantaranya tentang  Transplantasi Ginjal (1995 ) Rekonsiliasi Tasawwuf dan Syariat  (1996 ),Transmigrasi Pesantern  (1996 ),SDES (1997) ,Revolusi politik ,Eonomi ,Hukum ,moral dan Budaya (1998 ) ,formasi hukum dan plurarisme politik dan Lemhanas (1999) ,HAM ,dlsb.Bahkan beberapa kali menjadi pembicara dan dialog interaktif di tengah sekolah lanjutan perwira Polri dan mudzakarroh Mabes TNI (2001-2004 ).Ia juga beberapa kali menjadi narasumber Internasional di Teheran ,Iran (1999 dan 2000 ),Manila (2003 )maupun di Jakarta (2004 dan 2006 ).
Ia pula yang menaklikan Musaddeq  (Orang yang mengaku sebagai nabi di Jakarta ) Lewat perdebatan panjang tentang hakekat kenabian .Sampai akgirnya musaddeq sadar  dari kekeliruanya dan bersedia kembali kejalan isalm yang benar (2007 ).
Hingga kini (2010) kesibukan kang sai’d –begitu biasa disapa-lebih banyak dihabiskan di dunia pendidikan dengan menjadi Dosen di perguruan tinggi .Di antaranya Pascasarjana UI, Pascasarjana UIN Jakarta, Pascasarjana Unisma Malang ,Pascasarjana UNU Solo ,Pascasarjana ST Maqdum Ibrahim Tuban ,Ubaya Surabaya ,IAI  Tribakti  Kediri ,dlsb.
Selain menjadi narasumber seminar nasional dan Internasional ,Kang said juga rajin menulis.Beberapa buku telah  berhasil beliau selesailkan .Karena rajin membuka dan menulis buku itu ,tidak heran kalau dalam pengajian ia seringkali bias menyebutkan  32 mata rantai  keilmuan para ulama yang terus bersambung hingga Rosulullah SAW.
d.      Fatwa Kang Said Dalam Bukunya Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik Kaum Santri
1.      Presiden Wanita
Kebanyakan kiai, ulama serta fuqaha’ melarang wanita menjadi seorang presiden berdasar firman Allah SWT, “ ar-rijaalu qawwamuuna ‘alan-nisa, laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita. Mereka memahami ayat tersebut secara tekstual, bahwa term pemimpin itu identik dengan presiden, karenanya hanya laki-laki yang berhak menjadi pemimpin (presiden). Pemahaman ini dikuatkan lagi dengan sebuah hadits shahih, “lan-yufliha qaumun wallau amra-hum imra’atan, tidak akan bahagia kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa, presiden) seorang wanita. Untuk menguji akurasi pendapat para ulama itu tentu diperlukan pengkajian lebih intens. Benarkah dalam islam wanita-diharamkan menjadi presiden (pemimpin).
Menurut Kang Said, wanita memiliki kesempatan yang sama dengan pria dalam menggapai hak untuk dipilih sebagai presiden. Pemahaman yang menghalangi tempilnya kaum hawa’ sebagai pemimpin (presiden), hanya didasarkan pada pemahaman nash secara tekstual-interpertatif. Jika nash yang dianggap sebagai landasan larangan itu dipahami dengan memberikan interpretasi secara kontekstual, akan diperolah hukum sebaliknya, jawaz (boleh). Alangkah baiknya, jika wacana ini dipahami?.
2.      Golput dalam prespektif Islam
Golongan putih (Golput) bukanlah nama suatu partai politik. Namun dalam perjalanan pemilu di Indonesia eksistensinya senantiasa membayang-bayangi pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Menurut Kang Said, sebagai upaya untuk menegakkan kedaulatan rakyat, Pemilu merupakan suatu keharusan bagi kontinuitas pemerintahan yang konstitusional sebagai pengatur urusan kaum muslimin (rakyat). Disamping sebagai usaha mengaplikasikan kaidah ‘maa la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib’ Artinya: Sesuatu yang tanpa kehadiranya, suatu kewajiban (dalam syari’at Islam) tidak sempurna, maka perkara tersebut hukumnya wajib.
Meski demikian, patut digaris bawahi, bahwa secara fardiyah hak pilih warga negara tidak bisa diganggu gugat. Mereka bisa menyalurkan hek tersebut sesuai dengan hati nurani sebagai manivestasi dari kedaulatan rakyat. Tidaklah dibenarkan (haram) adanya upaya-upaya pemaksaan kehendak untuk menyalurkan kepada suatu OPP ataupun sikap golput kepada mereka. Sebalikny, seseorang juga berhak sepenuhnya untuk memilih salah satu OPP yang representatif baginya ataupun golput. Karena itu pencoblosan begi seorang warga negara itu mandub saja atau paling tidak fardlu Kifayah.



BAB III
PENUTUP
Munculnya para ahli hukum Islam di Indonesia menandai perkembangan hukum Islam Indonesia yang cukup signifikan. Diantaranya yaitu Mbah Ma’shum Lasem, KH. MA. Sahal Makfudz, KH. A. Mustofa Bisri, dan Prof. DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Mbah Ma’shum Lasem,  menggunakan nalar berfikir para Kiai pada umumnya yaitu sangat teguh memegang  syari’at dan secara spesifik fiqh Syafi’i. Dalam berdialog dengan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat  pun beliau mempunyai pandangan yang moderat
Kiai MA. Sahal Mahfudh landasan yang dijadikan pijakan dalam filosofi pemikiranya yaitu definisi Syari’ah/din, definisi fiqh, Aplikasi qawa’id ushuliyyah dan fiqhiyyah, pengembangan teori masalikul illah, Maslahah ammah, Tradisi masyarakat (‘adah ijtimaiyyah), dan ijtihad jama’i.
KH. A. Mustofa Bisri dalam berfatwa tidak terikat oleh suatu madhhab tertentu.  Tentu saja kebebasan berpikir versi KH. Mustofa Bisri adalah kebebasan yang terukur dan terbingkai dalam maqasid as-shari'ah yang menjadi tujuan diturunkannya shari'ah Islam. Beliau jarang menggunakan qawa’id ushuliyyah dan fiqhiyyah kebanyakan dari bayan illahiyah dan bayan nabawiyyah.
Prof. DR. KH. Said Aqiel Siradj, MA. Mencetuskan pemikiranya, disamping berpijak dengan Bayan illahiyyah, bayan Nabawiyyah namun beliau juga berpegang teguh pada bayan aqli yang shahih.
Terlepas dari berbagai gagasan yang diutarakan oleh keempat pembaharu hukum  Islam diatas, kita sebagai masyarakat awam, haruslah mengambil point-point penting, yang dapat membawa kita pada satu kesatuan, tanpa harus terpecah-pecah karena perbedaan madhhab yang ada. Berfikir selektif dan global terhadap apa yang ada, bersikap bijak terhadap pemikiran-pemikiran baru yang muncul mungkin dapat menjadi salah satu solusi dari ancaman perpecahan.






DAFTAR PUSTAKA

Asmani, Ma’mur Jamal. 2007. Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh. Surabaya: Khalista
 Bisri,Ahmad Mustofa .2008. Fiqh Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista
Fadeli,Sulaiaman  dan Muhammad Subhan, S.Sos, 2010. Antologi NU Buku II Syarah-Istilah-amalan-Uswah. Surabaya: Khalista
Siradj, Said Aqiel. 1999. Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik Kaum Santri. Ciganjur: Pustaka Ciganjur
 Thomafi, Lutfi M. 2012. Mbah Ma’shum Lasem The Authorized Biography Of Mbah Ma’shum. Yogyakarta: LKiS Group – Pustaka Pesantren